Wednesday, March 15, 2017

Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?

tirto.id - Maung atau harimau punya posisi yang cukup dalam bagi kesadaran orang Sunda. Kita bisa menemukan maung menjadi nama tempat di kawasan Jawa Barat, seperti Cimaung dan Cimacan yang bisa ditemukan di beberapa daerah (Garut, Subang, Banjaran, Cianjur, dll), lambang Kodam Siliwangi, sampai Persib—klub sepakbola kebanggaan warga Jawa Barat dan Sunda yang dijuluki Maung Bandung. 

Simbol maung yang melekat dalam alam pikiran masyarakat Sunda pada umumnya dikaitkan dengan legenda nga-hyang atau menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar bala tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Peristiwa ini mengisyaratkan mulai masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda. 


Dalam legenda ini juga disebutkan sebelum benar-benar menghilang, Prabu Siliwangi meninggalkan pesan atau amanat kepada para pengikutnya. Amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi ini, di antaranya, memuat pesan Siliwangi tentang masa depan wacana Pajajaran di masa depan:  

“Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”


"Dari mulai hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang akan mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, tapi menelusurinya harus memakai dasar. Tapi sayangnya yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.” (Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit, hal. 16). 


Setelah menyampaikan pesan, Prabu Siliwangi kemudian nga-hyang. Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung.” (Kalau aku sudah tidak menemanimu, lihat saja tingkah laku harimau).     
       

Hal ini, salah satunya, yang mendasari keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bersalin rupa menjadi harimau. Sebagian pendapat menerangkan harimau di sini tidak bermakna harfiah, melainkan lebih merujuk karakter harimau yang diidentifikasi sebagai pemberani dan menyayangi keluarga. Poin kedua dari karakter itu, yaitu menyayangi keluarga, dikaitkan dengan pilihan Prabu Siliwangi yang konon memutuskan untuk mundur dan tidak meladeni pasukan Islam karena menghindari pertumpahan darah. Alasannya: pengejaran itu dipimpin oleh Kian Santang, salah satu keturunan Prabu Siliwangi. 


Dalam budaya pop kiwari, salah seorang seniman Sunda yaitu Yayan Jatnika mengabadikan kisah ini dalam lagu Sancang: 


“Ceunah ceuk béja baheula aya nagara/ Sancang Pakuan Pajajaran katelahna/ Prabu Siliwangi nu jadi rajana/ sakti mandraguna/ badé di-Islam-keun anjeunna alim/ diudag putrana Prabu Kian Santang/ ilang di leuweung éta tilem di leuweung éta/ Sancang nu canéom geueuman.”


(Konon dulu ada negara/ Sancang Pakuan Pajajaran disebutnya/ Prabu Siliwangi yang jadi rajanya/ sakti mandraguna/ hendak di-Islam-kan beliau tidak mau/ dikejar anaknya Prabu Kian Santang/ hilang di hutan itu lenyap di hutan itu/ Sancang yang angker).


Uraian bahwa Prabu Siliwangi menghilang karena terdesak oleh masuknya Islam mengandaikan bahwa dialah raja terakhir Pajajaran. Dan memang tidak sedikit yang menganggap Siliwangi sebagai raja terakhir Pajajaran sehingga nga-hyang atau moksanya Siliwangi sebagai akhir dari Pajajaran sendiri.


Paparan di atas, yang merujuk legenda dan alam pikiran masyarakat Sunda, kiranya mesti diperiksa ulang. Benarkan Prabu Siliwangi seperti yang dikisahkan sebelumnya adalah penguasa Kerajaan Pakuan Pajajaran yang terakhir? 

Dalam buku Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi karya Saleh Danasasmita diterangkan beberapa pendapat tentang siapa sebetulnya Prabu Siliwangi.   
Poerbatjaraka berpendapat Prabu Siliwangi adalah raja Sunda yang gugur di Bubat. Dalam Carita Parahiyangan, yang dijadikan sumber olehnya, disebutkan bahwa raja yang berangkat mengantar putrinya ke Majapahit adalah Prabu Maharaja, ayah dari Wastu Kancana. Sedangkan Jayadewata (Sri Baduga) adalah cucu Wastu Kancana. Dalam naskah itu Prabu Maharaja disebutkan “keuna kalawiyasa” (terkena perbuatan khianat), sementara Jayadewata disebut sebagai “Sang mwakta ring Rancamaya” (yang dikuburkan di Rancamaya). 

Poerbatjaraka menafsirkan bahwa arti kata "kalawiyasa" sama dengan kata "Rancamaya", artinya menganggap Prabu Maharaja dan Jayadewata adalah orang yang sama. Padahal kalimat lengkapnya “Wastu Kancana nu surup di Nusalarang, Tohaan di Galuh nu surup di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata mwakta ring Rancamaya” (Wastu Kancana yang dikuburkan di Nusalarang, Tohaan di Galuh yang dikuburkan di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata yang wafat di Rancamaya).

“Berdasarkan maksud kalimat ditambah dengan adanya kata sambung yang menyatakan tempat yaitu di dan ring, tentunya Nusalarang, Gunung Tiga, dan Rancamaya adalah nama tempat,” tulis Saleh. Hal ini tentu saja menggugurkan teori Poerbatjaraka, yang artinya siapa sosok Prabu Siliwangi menjadi tidak jelas.  

Sementara dalam Babad Siliwangi, diterangkan bahwa Siliwangi berarti "asilih wewangi" (berganti nama/gelar). Hal ini bersesuaian dengan Prasasti Batutulis yang menerangkan bahwa Sri Baduga atau Jayadewata dua kali dinobatkan. Pertama ia dinobatkan dengan menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, lalu namanya diganti ketika dinobatkan untuk kali kedua:

“Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusa Larang.”   

Saleh Danasasmita menulis bahwa nama raja yang resmi dalam bahasa Sunda sering disebut "wawangi". Arti harfiahnya adalah "seuseungit" karena "seungit" (harum atau wangi) atau kemasyhuran raja terletak pada namanya yang resmi, sebab upacara penobatan biasanya harus diikuti dengan penetapan nama resmi.

Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, yang diidentikkan dengan Prabu Siliwangi, pun sesungguhnya bukanlah raja terkahir dari Pakuan Pajajaran. Masih ada lima raja lagi setelahnya yaitu: Prabu Surawisesa (1521-1535), Ratu Dewata (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Nilakendra Tohaan di Majaya (1551-1567), dan Ragamulya Suryakancana sebagai raja terakhir ketika pengaruh Islam mulai masuk dan meruntuhkan kerajaan tersebut pada 1579.

Fakta ini tentu saja tidak sesuai dengan legenda Prabu Siliwangi yang digambarkan sebagai raja Pakuan Pajajaran penghabisan yang nga-hyang dan kemudian melahirkan simbol maung. Ada rentang waktu yang cukup panjang antara Sri Baduga Maharaja dengan berakhirnya kerajaan Pakuan Pajajaran. Artinya ada periodesasi yang gamblang untuk memetakan betapa berakhirnya masa hidup Prabu Siliwangi bukanlah akhir dari Pajajaran.

Sumber : https://tirto.id/maung-dan-prabu-siliwangi-mitos-atau-fakta-ckLg
Reporter : Irfan Teguh



Tuesday, January 15, 2013

Benarkah Ki Sunda Sudah Terpuruk?

Oleh DINKA S. PRADJA

SAAT ini banyak kalangan di tatar Sunda mengulas tentang keberadaan Ki Sunda. Pada umumnya mereka mengulas tentang memudarnya jati diri Ki Sunda yang seolah telah hilang atau ditinggalkan oleh sebagian besar Ki Sunda khususnya oleh generasi muda karena bermacam sebab.
Kekecewaan demi kekecewaan tercetus karena merasa bahwa Ki Sunda saat ini sudah mulai terpuruk dan keberadaannya bagai jati kasilih ku junti, benarkah demikian?

Sejarah tatar Sunda, sepenggal kecil wilayah dari sekian luas kawasan nusantara, kepulauan terbesar di dunia, sejak dahulu kala konon sudah banyak disinggahi para pendatang dari berbagai belahan bumi, seakan memiliki pesona dan magnet yang mampu menyedot para pendatang untuk datang dan bermukim di sini. Pembauran ras dan budaya bercampur aduk, secara bertahap berkembang membentuk budaya baru dan baru lagi. Budaya yang selalu dinamis berkembang mengikuti perjalanan waktu, mulai dari pola pikir dan pola hidup yang paling sederhana sampai kepada pola yang kita jalani di abad 21 ini.

Sejarah mencatat bahwa langkah Ki Sunda telah berjalan menempuh rentang waktu yang amat panjang, konon sejak zaman Aki Tirem di ujung barat tatar Sunda di abad pertama masehi sampai saat ini. Kebangkitan dan keterpurukan Ki Sunda dari masa ke masa bergulir silih berganti, berfluktuasi sejalan dengan peran para tokoh sejarahnya. Berbagai episode telah menghias ilustrasi perjalanan skenario sejarah di tatar Sunda.

Salah satu episode yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda adalah era Pajajaran (1482 M-1579 M) yang pernah mengalami masa kejayaan pada zaman pemerintahan pendirinya Prabu Siliwangi (1482 M-1521 M) dan kemudian terpuruk sampai pada total kehancurannya di tahun 1579 M akibat ulah para generasi penerusnya.

Tome Pires, orang Portugis yang berkunjung ke Pakuan tahun 1513 M, menyebutkan Sunda sebagai "negeri ksatria dan pahlawan laut". Menurutnya, orang Sunda menarik (goodly figure), ramah, tinggi kekar (robust), dan they are true man (orang jujur). "The Kingdom of Sunda is justly governed" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil).

Menurut cerita Parahiyangan, Purbatisti purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Oleh karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera). Tahun 1521 M, Prabu Siliwangi wafat dan dipusarakan di Rancamaya setelah memerintah selama 39 tahun.

Penggantinya, Surawisesa Sang Putera Mahkota naik tahta. Pada saat pemerintahan ayahnya, dia dua kali diutus sebagai duta Pajajaran untuk menjalin persahabatan dan hubungan dagang dengan Alfonso d'Albuquerque, raja muda Portugis di Malaka. Perjalanannya ke Malaka ini digubah oleh pujangga pantun menjadi cerita Raden Mundinglaya Dikusumah.

Pada era pemerintahannya, pecah perang saudara antara Pajajaran dan Cirebon. Galuh dikalahkan dan dikuasai Cirebon yang dibantu Demak sehingga Surawisesa hanya menguasai dan mempertahankan wilayah kerajaan Sunda, warisan dari kakeknya. Perang yang berlangsung selama 5 tahun itu berakhir dengan perdamaian. Surawisesa wafat pada tahun 1535 M dan dipusarakan di Padaren.

Putera Surawisesa, Ratu Dewata menggantikan ayahnya. Ia sangat alim (lumaku ngarajaresi) dan merasa aman karena sangat percaya pada jaminan perjanjian damai yang dibuat ayahnya dengan Cirebon. Namun Banten, sekutu Cirebon, kurang setuju terhadap isi perjanjian karena hanya aman bagi Cirebon, tapi kurang aman bagi Banten. Agar tidak melanggar perjanjian, Banten membentuk pasukan tambuh sangkane (tanpa identitas) untuk menyerang Pakuan, namun benteng yang dibangun Sri Baduga sulit ditembus. Ratu Dewata wafat tahun 1543 M setelah memerintah selama 8 tahun (1535 M-1543 M) dan dipusarakan di Sawah Tampian Dalem.

Ia digantikan oleh putranya, Pangeran Sakti. Berbeda dengan ayahnya, raja ini memerintah tanpa mempedulikan norma-norma pemerintahan. Membunuh orang tak berdosa, merampas harta rakyat, tidak berbakti kepada orang tua dan menghina para pendeta. Raja ini diturunkan dari tahta setelah memerintah selama 8 tahun (1543 M-1551 M). Dan setelah wafat, ia dipusarakan di Pengpelengan.

Anaknya, Nilakendra menggantikan sang ayah. Dalam pemerintahannya, Pajajaran sudah demikian rusak. Setiap saat berpesta-pora dan mabuk-mabukan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa-kilang (air memabukkan menjadi penyedap makan dan minum). Tatan agama gyang kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar (Tidak ada ilmu yang disukai kecuali makan lezat sesuai dengan kekayaannya).

Ajaran tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang (makan sekadar pelepas lapar, minum tuak sekadar pelepas dahaga) telah ditinggalkan. Semua itu terjadi dalam keadaan kerajaan terancam musuh dan rakyat kelaparan. Tiba saatnya kaliyuga, yaitu zaman yang penuh kejahatan dan kemaksiatan yang kemudian akan diikuti oleh pralaya (kehancuran). Dalam keadaan demikian Nilakendra bersama pengikutnya meninggalkan kerajaan. Tidak diketahui di mana raja ini wafat dan dipusarakan setelah memerintah selama 16 tahun (1551 M-1567 M).

Ragamulya Suryakancana, raja terakhir, mengungsi bersama pengikutnya ke Kadu Hejo di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Ia bertahan di salah satu kerajaan daerah dan gugur di sana sebelum pasukan gabungan Banten-Cirebon menghancurkan Pajajaran. Konon benteng Pakuan dapat ditembus karena adanya pengkhianatan "orang dalam".

Setelah itu, Pakuan tidak ada beritanya lagi. Reruntuhannya ditemukan sebagai puing dalam keadaan kosong tanpa penghuni oleh pasukan ekspedisi Kumpeni Belanda pimpinan Sersan Scipio pada 1 September 1687  M.

Dari episode di atas, dapat kita simpulkan bahwa betapa pun Prabu Siliwangi membawa Pajajaran ke jenjang zaman keemasan, membangun benteng pertahanan yang sangat kuat, namun akibat mental dan prilaku penerusnya, Pajajaran harus mengalami kehancuran. Beberapa episode lainnya tak kalah tragis bahkan juga memalukan, namun episode di atas rasanya cukup mewakili sebagai pembanding keberadaan kita di era Sunda kiwari.

"Sunda kiwari"

Saat ini kita dapat melihat dan merasakan fenomena kaliyuga yang menimpa Ki Sunda walau dalam bobot dan versi yang berbeda.Kemaksiatan, kerakusan, pengkhianatan, anarkis telah membayang-bayangi. Banyak motif yang menjurus kepada kehancuran, antara lain pola hidup konsumtif yang berlebihan yang kemudian berdampak di antaranya kepada perilaku korupsi, pelecehan seksual, dan narkoba. Tentu kita berharap tidak terjadi pralaya, keterpurukan, atau kehancuran seperti yang pernah dialami leluhur kita dan ini perlu kita
tafakuri, patut dijadikan cermin agar flek-flek yang tampak pada wajah kita dapat segera diobati, diprotek sebelum menjadi parah.

Keberadaan Ki Sunda kiwari dan masa datang sangat bergantung kepada Ki Sunda sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak mengubah nasibnya. Sudah saatnya kini Ki Sunda paheuyeuk-heuyeuk leungeun membangun kembali Benteng Pajajaran yang tangguh.

Ki Sunda, baik pituin maupun mukimin harus sejalan menjunjung tinggi budaya tatar Sunda. Kita gali dan pelihara bersama budaya warisan para leluhur yang ada, namun wayahna harus rela meninggalkan kultur yang selalu membuat kita statis, menghambat kemajuan, dan mulai menerima segala perubahan dengan lapang dada sehingga kita tidak selalu ketinggalan langkah.

Kita belum terpuruk dan kita belum kehilangan jati diri, namun harus kita sadari bahwa Ki Sunda kini sedang dalam proses metamorposis untuk menjadi Ki Sunda baru yang tidak lagi ku'uleun atau yang betah berkutat dalam alam feodal warisan masa lalu. Ki Sunda harus menjadi komunitas yang tangguh dan mampu beradaptasi dengan segala kondisi setiap saat. Budaya Mataram yang dominan memengaruhi identitas Ki Sunda selama berabad-abad, khususnya yang ribet (tidak praktis) kini tengah berada pada titik puncak perubahan dan mulai ditinggalkan. Jadi tidak perlu heran jika perubahan terjadi dan ini akan terus dan terus berlanjut di masa yang akan datang. Pada era teknologi dan informasi saat ini waktu sangat berharga, sehari saja kita tertinggal, kita sudah menjadi manusia masa lalu.

Kita tidak perlu pesimistis. Hanya dengan rasa memiliki (sense of belonging) dan semangat yang tinggi, Ki Sunda akan tetap eksis. Ki Sunda akan tetap Ki Sunda di mana pun berada walau dikelilingi budaya mana pun.

Memang tidak banyak Ki Sunda yang peduli terhadap keberadaannya karena kebanyakan sibuk dengan kepentingannya dalam usaha mempertahankan hidup, namun dari yang sedikit ini kita sangat berharap banyak. Saat ini kita berpacu dengan waktu, juga dengan komunitas lain. Kita harus berusaha tegas dan berjuang keras agar tidak selalu ketinggalan langkah sehingga istilah jati kasilih ku junti bagi keberadaan Ki Sunda tidak pernah kita dengar lagi. Ki Sunda harus kembali mengesankan bagi orang lain maupun orang asing seperti halnya kesan Tom Pires di abad 16M.

Hanya dengan ketulusan dan kebersihan hati serta tekad yang kuat kita akan menggapai suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera), seperti yang pernah dialami pada zaman keemasan Pajajaran di masa silam. Insya Allah.***

Penulis adalah Seniman dan Pemerhati Budaya.

Tuesday, January 24, 2012

Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda

Oleh DADAN WILDAN
Ti meletuk datang ka meleték
ti segir datang ka segir deui
lamun dirobah buyut kami
lamun hujan liwat ti langkung
lamun halodo liwat ti langkung
tangsetna lamun buyut dirobah
cadas maléla tiis
buana larang, buana tengah, buana nyungcung
pinuh ku sagara (Pikukuh Baduy).



AJARAN Islam di Tatar Sunda selain telah mengubah keyakinan seseorang dan komunitas masyarakat Sunda juga telah membawa perubahan sosial dan tradisi yang telah lama dikembangkan orang Sunda. Penyesuaian antara adat dan syariah seringkali menunjukkan unsur-unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dapat dipahami karena para penyebar Islam dalam tahap awal menggunakan strategi dakwah akomodatif dengan mempertimbangkan sistem religi yang telah ada sebelumnya.

Masuknya Islam Ke Tatar Sunda
ABAD pertama sampai keempat hijriyah merupakan fase awal proses kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini antara lain ditandai kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Sunda terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat yang menerimanya.

Di tatar Sunda, menurut naskah “Carita Parahiyangan” diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda tahun 1337 Masehi dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.

Sementara itu, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Hasanuddin yang dikenal dengan sebutan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang pada abad ke-15 sekira tahun 1416 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi yang bermukim di Pasambangan, bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon. Keduanya lalu menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren masing-masing. Pesantren di Muara Jati semakin berkembang ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Mesir. Ia masih keturunan Prabu Siliwangi bermukim di Cirebon sejak tahun 1470 dan mulai menyebarkan syiar Islam ke seluruh wilayah tatar Sunda mulai dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Bogor, hingga Banten. Atas perjuangannya, penganut kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu, dan Budha beralih menjadi Muslim, sedangkan penganut ajaran Sunda Wiwitan merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan ke pedalaman Baduy.

Pada tahap awal, sebagaimana dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Seiring terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama atau para guru agama yang mendidik para santri, syiar Islam mulai berkembang pesat di tatar Sunda sejak pertengahan abad ke-15.

Dari Sunda Wiwitan Ke Sunda Islam
PADA proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1992:5).

Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga buana, yaitu (1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.

Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2) menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.

Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran Seureun Papan.

Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang are yaitu dulur are. Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.

Madrais dan Aliran Perjalanan
BERBEDA dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung.

Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi menolak Alquran dengan anggapan bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang kiamat.

Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam.

Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan “Agama Kuring” (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku “Budi Daya” tahun 1935 yang dijadikan ‘kitab suci’ oleh para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan Islam.

Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda
PERJUMPAAN Islam dengan Budaya Sunda tidak melanggengkan tradisi lama seperti Sunda Wiwitan dan tidak memunculkan ajaran baru seperti Agama Djawa Sunda dan aliran kepercayaan Perjalanan adalah adaptasi antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi budaya yang melekat di masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena umumnya dalam tradisi budaya masyarakat Muslim di tanah Jawa oleh Mark R. Woodward disebut Islam-Jawa, adaptasi unsur-unsur tradisi dengan Islam tampak sekali, misalnya adaptasi budaya dalam penamaan bulan. Bulan-bulan dalam tradisi Jawa—termasuk juga Sunda—sebagian mengadaptasi bulan Hijriah yaitu Sura (Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).

Penyesuaian yang bijaksana atas sistem kalender Jawa Kuno (tahun Saka) ke dalam sistem kalender Islam dibuat tahun 1663 Masehi oleh Sultan Agung dari kerajaan Mataram yang menetapkan tahun 78 Masehi sebagai titik awal tahun Saka. Dengan sistem penanggalan baru tersebut, bulan pertama dalam kalender Jawa disamakan dengan bulan pertama kalender Islam yang sekarang menginjak tahun 1936 Saka (1424 H). Hal ini—menurut Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village”—dimungkinkan dalam kehidupan beragama di Jawa, karena sikap lentur orang Jawa terhadap agama dari luar. Meskipun kepercayan animisme sudah mengakar sejak zaman dahulu, orang Jawa dengan mudah menerima agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, lalu ‘men-jawa-kan’ semuanya.
Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh ‘penyesuaian’ juga dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangat jarang, kitab suci masih barang langka, dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis, penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi.

Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam komunitas Sunda yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam upacara-upacara tertentu seperti tujuh bulanan, marhabaan, kelahiran, dan cukuran. Seringnya dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini melahirkan banyak naskah yang berisi tentang kisah-kisah kenabian, seperti Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Babar Nabi, dan Wawacan Nabi Paras yang ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Sunda dalam bentuk langgam pupuh, seperti Pupuh Asmarandana, Sinom, Kinanti, Dangdanggula, dan Pangkur. Untuk mengikat pendengar yang hadir, si pembaca naskah menguncinya dengan membaca sebuah kalimat: Sing saha jalma anu maca atawa ngadengekeun ieu wawacan nepi ka tamat bakal dihampura dosa opat puluh taun. Dengan khidmat, si pendengar menikmati lantunan juru pantun yang berkisah tentang ajaran Islam ini dari selepas isya hingga menjelang subuh.

Sejak agama Islam berkembang di Tatar Sunda, pesantren, paguron, dan padepokan yang merupakan tempat pendidikan orang-orang Hindu, diadopsi menjadi lembaga pendidikan Islam dengan tetap menggunakan nama pasantren (pasantrian) tempat para santri menimba ilmu agama. Pesantren ini biasanya dipimpin seorang ulama yang diberi gelar “kiai”. Gelar kiai ini semula digunakan untuk benda-benda keramat dan bertuah, tetapi dalam adaptasi Islam dan budaya Sunda, gelar ini melekat dalam diri para ulama sampai sekarang. Di pesantren ini jugalah huruf dan bahasa Arab mendapat tempat penyebaran yang semakin luas di kalangan masyarakat Sunda dan menggantikan posisi huruf Jawa dan Sunda yang telah lama digunakan sebelum abad ke-17 Masehi.

Dalam sejumlah doktrin dan ritus tertentu, di Tatar Sunda pun berkembang ajaran Islam yang mengadopsi unsur tapa dalam agama Hindu dan diwarnai aspek-aspek mistis dan mitologis. Dari banyak unsur tradisi Hindu-Jawa yang tetap bertahan adalah kesaktian, praktik tapa, dan tradisi Wayang yang terakomodasi dalam jalan orang-orang yang mencari kesalehan normatif sekaligus melestarikan ajaran kebatinan.
Dalam bidang arsitektur, pembangunan arsitektur masjid dan rancang bangun alun-alun dan keraton diwarnai perpaduan antara budaya Sunda dengan Islam. Di setiap alun-alun kota kecamatan dan kabupaten sejak Sunan Gunung Jati berkuasa (1479-1568) dibangun Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, di samping pasar, keraton, serta penjara dengan penyesuaian fungsi dan posisinya sebagai bangunan pusat pemerintahan kerajaan berdasarkan Islam dengan masjid (bale nyungcung) sebagai simbol utama. Simbol bale nyungcung ini mengisyaratkan adaptasi tempat Sanghyang Keresa bersemayam di Buana Nyungcung (buana atas) dalam ajaran Sunda Wiwitan.

Beberapa contoh di atas, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah melahirkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda.
Kedua, berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam.

Ketiga, berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernapaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan.

Keempat, pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda, dan

Kelima, berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.

Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda telah melahirkan tiga aspek religiusitas yang berbeda. Pertama, terkungkungnya satu wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan; kedua lahirnya tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung; dan ketiga terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi.

Terlepas dari itu semua, pemahaman pelaksanaan adaptasi dan harmoni antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi Sunda sebagai adat istiadat warisan budaya lama disadari akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda. Di satu pihak ada yang menganggap bahwa berbagai upacara tradisi itu adalah adat istiadat yang perlu tetap dilestarikan dan sejalan dengan agama Islam, bahkan menjadi ‘sunah’, sebaliknya di pihak lain ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam yang diwarnai oleh tradisi dan budaya Sunda adalah bentuk perbuatan bidah.***
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 26 Maret 2003.

Memprihatinkan, Penulisan Sejarahnya Hanya Warisan Penjajah

Jawaban atas Artikel. Rabu, 26 Maret 2003 (Pikiran Rakyat) Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda Oleh DADAN WILDAN
Oleh ENGKUS RUSWANA K.
Sumber : Pikiran Rakyat Artikel. Sabtu, 14 Juni 2003

BELAKANGAN ini agak sering muncul tulisan maupun pandangan mengenai perjumpaan Islam dengan budaya Sunda. Penulis merasa terusik untuk mengkaji ulang klaim-klaim sebagian masyarakat yang mengatakan Islam identik dengan Sunda dan Sunda identik dengan Islam.
Ada masyarakat yang mengungkapkan bahwa di masyarakat Sunda terdapat juga penganut agama Sunda Wiwitan, komunitas pengikut Madrais dan komunitas pengikut Mei Kartawinata yang masih mempertahankan ajaran leluhurnya. Menurut pengetahuan penulis, penghayat atau kelompok masyarakat yang masih menghormati dan melaksanakan ajaran leluhur Sunda tidak hanya terdapat di Kanekes Baduy, Ciptagelar Sukabumi, Cigugur Kuningan, dan Ciparay Bandung. Banyak sekali masyarakat yang memegang teguh ajaran leluhurnya, tapi karena pertimbangan tertentu belum berani mengungkapkan keyakinannya.
Penulis merasa perlu memberikan ulasan sehubungan dengan ada kajian yang tidak lengkap yang mengundang penafsiran negatif dan pandangan yang keliru terhadap masalah tersebut di atas. Bahkan, ada bahasan yang tidak didukung oleh kajian mendalam khususnya yang berkaitan dengan ajaran Madrais dan ajaran Mei Kartawinata.


Hal pertama, jika ada pihak yang menyimpulkan bahwa Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran menganut Hindu, masih patut diragukan kebenarannya sebab sampai dengan saat ini belum ada bukti sejarah yang dapat mendukung kesimpulan tersebut. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan apakah Galuh dan Pajajaran menganut Hindu-Buddha atau agama/kepercayaan asli Sunda.
Beberapa komunitas Sunda, termasuk Sunda Wiwitan, Cigugur, Ciparay dan beberapa komunitas lainnya, berkeyakinan kepercayaan yang dianut kedua kerajaan tersebut adalah agama/kepercayaan asli Sunda. Hal ini sejalan dengan penelitian antropolog Nanang Saptono dalam tulisan berjudul “Di Jateng Ada Candi, di jabar Kabuyutan” yang dimuat dalam Harian Kompas, 3 September 2001 yang menyatakan, “Dalam Carita Parahyangan juga menunjuk bahwa kepercayaan umum raja-raja di Galuh ialah sewabakti ring batara upati yang berorientasi kepada kepercayaan asli”.

Hal kedua adalah mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur kita, yang pengertiannya secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan.

Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi nusantara yang subur makmur loh jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.

Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (wanda aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan matahari (Kala Surya), perhitungnan bulan (Kala Candra), dan perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.
Dengan demikian, budaya tulisan tentunya dikenal jauh lebih tua lagi sebelum dikenalnya budaya penanggalan. Alasannya, untuk mencatatkan penelitian peristiwa alam, tentunya disimpan dalam bentuk tulisan.

Selain itu, telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung). Dalam hal ini hendaknya diingat, sejarah nasional dibuat oleh sebagian besar sejarawan Belanda pada masa penjajahan, yang tentunya akan terkait dengan kepentingan penjajah Belanda sehingga adalah suatu keniscayaan untuk merendahkan bangsa yang dijajahnya dengan berbagai cara, termasuk penulisan sejarah.

Dengan demikian, fakta dapat diputarbalikkan dan opini dunia dapat dibangun bahwa mereka tidak menjajah, melainkan berjasa dalam membudayakan bangsa yang masih primitif dan biadab. Kenyataannya, banyak bukti-bukti sejarah yang menurut informasi dibawa dan disimpan di negeri Belanda sejak masa penjajahan. Bukan hal yang tidak mungkin bukti-bukti sejarah yang menguatkan kebesaran bangsa kita pada masa lalu hilang atau sengaja dihilangkan (dalam hal ini penulis sependapat dengan tulisan Ari J. Adipurwawidjana yang menyimpulkan berbagai pengaruh yang datang dari luar nusantara begitu besar sehingga kebudayaan yang sebelumnya berkembang tergeser kedudukannya dari wacana dominan menjadi wacana limbahan). Apalagi Belanda menjajah nusantara ratusan tahun dan sebelumnya Hindu, Buddha, dan Islam pernah mendominasi nusantara sehingga kita mangalami kegamangan akan jati diri bangsa yang hakiki karena memang banyak kehilangan akar sejarahnya.

Hal lain yang mungkin perlu dijadikan pertimbangan adalah perbedaan budaya barat yang lebih mengandalkan rasional dan simbol-simbol nyata yang nampak di permukaan dibandingkan dengan budaya timur khususnya nusantara/Sunda yang religius dan banyak mengandung falsafah yang tidak tampak ke permukaan (tersirat/ngandung siloka), kemungkinan tidak mampu ditangkap sejarawan masa itu. Akibatnya, kepercayaan leluhur kita yang sebetulnya cukup arif — kita lahir dan hidup karena jasa ibu-bapak, ibu-bapak ada karena nenek-kakek dan seterusnya (dalam budaya Sunda-Jawa dikenal penamaan sampai tujuh turunan) –, demikian seterusnya dikenal sebagai leluhur atau nenek moyang yang pada akhirnya bermuara ke Tuhan YME. Jadi wajar apabila kita menghormati leluhur yang diwujudkan dalam bentuk tata-cara adat budaya sebagai bentuk penghormatan.

Demikian pula halnya dengan kearifan leluhur kita atas kedekatannya terhadap alam dan lingkungannya. Kesadaran bahwa mereka hidup dan bermukim ditopang oleh alam lingkungannya, baik berupa batu, kayu, tanah, air, gunung, hutan, dan bermacam bahan pangan khususnya padi sebagai bahan pokok menimbulkan kesadaran akan perlunya berterima kasih dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya. Hal itu diwujudkan dalam bentuk tata cara adat budaya sehingga untuk memanfaatkan apa pun yang dari alam, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat (mipit kudu amit, ngala kudu menta). Misalnya pada waktu panen, menebang pohon, bongkar batu, bangun ruma,h dan sebagainya, serta untuk menjaga daerah yang sensitif dikenal daerah terlarang (pamali), begitu pula pepatah-pepatah yang sarat dengan pesan bagaimana memperlakukan alam.

Perilaku adat budaya tersebut di ataslah yang barangkali melahirkan vonis atau sengaja didiskreditkan sebagai animisme dan dinamisme. Padahal, ini jusrtu sesunggungnya merupakan bentuk perwujudan keluhuran budi pekerti leluhur kita, yang seharusnya dilestarikan. Kalau demikian, apakah mungkin leluhur kita tidak mengenal Tuhannya?

Dalam pemahaman penulis yang juga sedang menghayati dan menggali kepercayaan asli Sunda, dipahami bahwa kasih sayang Tuhan ada yang langsung, yaitu yang melekat pada diri kita dan ada yang tidak langsung melalui orang tua dan seterusnya, ada yang lewat sesama hidup (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan) serta yang lewat alam (tanah, air, udara, dan api) yang menjadikan diri kita dan memelihara hidup kita. Selain itu, setiap zat di bumi alam ini punya lahir dan punya batin (misal gula, wujud gula adalah lahirnya, sedangkan manis adalah batinnya; bibit ditanam hidup dan membesar karena tanah ada batinnya). Begitu pula pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dikenal tata cara adat budaya yang sarat dengan muatan religius sebagai perwujudan keluhuran budi pekerti dan pemahaman tentang asas Ketuhanan dan Kemanusiaan.

Oleh karena itu, seyogianya pendiskreditan bahwa leluhur kita menganut animisme dan dinamisme dengan gambaran sebagai masyarakat yang masih belum beradab, menurut penulis sudah waktunya diluruskan (tantangan buat ahli sejarah).

Migrasi Manusia
Hal yang sama berkaitan dengan penulisan periwayatan sejarah kebudayaan nusantara, sebagaimana yang disitir oleh Ari J. Adipurwawidjana dalam makalahnya yang mengemukakan zaman prasejarah; terjadi gelombang migrasi manusia dari daratan Asia ke kepulauan nusantara. Pada awal zaman purba ditandai dengan datangnya manusia dari Subbenua India yang memasukkan kebudayaan Hindu-Buddha yang seolah-olah bumi nusantara belum berpenghuni, belum berbudaya, dan belum beragama.

Dalam pemahaman penulis, ini juga terkait dengan kepentingan penjajahan, untuk mengeliminasi bahwa tidak ada bangsa asli karena yang mengaku pribumi pun nyatanya bangsa pendatang. Jadi dapat dijadikan alasan bahwa baik Belanda maupun penduduk nusantara sebelumnya punya hak yang sama dan tidak ada hak-hak istimewa bangsa pribumi. Tinggal bersaing saja, siapa kuat itu yang menang.

Padahal, kalau dihubungkan dengan penelitian arkeologi, justru di tanah Jawa ini telah ditemukan berbagai fosil manusia purba yang berumur 1,5-1,75 juta tahun yang dikenal dengan sebutan “Java Man” (Misteri “Java Man” oleh Bintoro Gunadi dalam HU Kompas) dan penemuan gigi manusia purba oleh Dr. Tony Djubianto di wilayah Rancah dan Tambaksari Kabupaten Ciamis yang usianya lebih tua dari yang ditemukan di Sangiran (penulis tidak tahu apakah di belahan dataran Asia yang katanya asal migran zaman purba telah ditemukan fosil yang umurnya lebih tua). Bukti sejarah apa yang dapat memperkuat kebenaran adanya gelombang migrasi tersebut, suatu perkara yang perlu pengkajian kembali.

Oleh karena itu, tidak heran kalau semua pemahaman dari catatan-catatan sejarah seperti di atas yang ditanamkan ratusan tahun secara turun-temurun sebagai akibat penjajahan, menimbulkan bangsa kita sampai sekarang kehilangan sebagian besar jati diri bangsanya, kehilangan kepercayaan dirinya yang cenderung rendah diri di hadapan bangsa asing. Jadi, semua hal yang datang dari luar selalu dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang datang dan dilahirkan dari tanah airnya sendiri. Kapan akan berubah, mari kita renungkan bersama.
Penulis ingin memberi uraian, khususnya yang berkaitan dengan aliran kebatinan Perjalanan. Perlu ditegaskan bahwa ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata bukanlah kepercayaan baru yang dilahirkan sebagai hasil dari perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dan bukan merupakan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, dan Islam, sebagaimana ditulis oleh Dadan Wildan dalam Pikiran Rakyat tanggal 26 Maret 2003.

Selain itu, ini diunsuri penggalian kepercayaan asli Sunda yang sedikit demi sedikit dikumpulkan, diungkap dan dikaji kembali untuk memisahkan mana yang bersumber dari ajaran asli dan mana yang berasal dari luar, yang memang sulit untuk membedakannya karena sebagian telah terjadi percampuran dan sebagian lainnya sudah terkubur selama ratusan tahun sejak masuknya kepercayaan dari luar. Sampai sekarang pun belum seluruhnya dapat terungkapkan.

Ajaran Mei Kartawinata pada dasarnya tidak berbeda dengan ajaran Sunda Wiwitan, hanya sedikit perbedaan dalam istilah dan metode pengajaran serta sedikit berbeda dalam penerapan tata cara adat budaya. Tentunya komunitas Kanekes tidak seutuhnya menerapkan tata cara adat budaya yang lengkap seperti pada zaman Padjadjaran (komunitas ini pada waktu Islam masuk ke Padjadjaran terpaksa mengasingkan diri ke suatu daerah yang medannya berat dan tidak ingin diketahui keberadaannya dalam rangka mempertahankan keyakinannya sehingga harus menyesuaikan diri dan terpaksa meninggalkan sebagian tata cara adat budaya sesuai dengan lingkungan alam dan misinya).

Kalaupun dalam buku Budi Daya terdapat sebagian istilah-istilah dalam bahasa Arab, semata-mata didasarkan atas kondisi dan situasi waktu itu para pengikutnya kebanyakan berasal dari kalangan Islam yang menginginkan penjelasan dari apa yang mereka ketahui dan ingin mendalami isi yang terkandung di dalamnya ditinjau dari sudut pandang ajaran/kepercayaan Sunda, dan kalaupun terdapat persinggungan/kesamaan adalah wajar adanya. Pasalnya, ilmu Tuhan yang hakiki adalah satu dan bersifat universal, serta berlaku untuk semua umat-Nya.

Selain itu, terdapat pula buku-buku dan berbagai tulisan Mei Kartawinata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bahkan istilah bahasa Cina. Hal ini sesuai dengan kondisi waktu itu yang juga masyarakat banyak memahami bahasa Belanda, yang tentunya tidak dapat disimpulkan sebagai sinkretisme dengan ajaran Belanda.

Ungkapan bahwa Budi Daya dijadikan sebagai “kitab suci” oleh para pengikutnya adalah sungguh keliru dan menunjukkan bukti tidak mengetahui banyak tentang ajaran Mei Kartawinata. Dalam pemahaman penganut ajaran Mei Kartawinata, kitab suci adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia dan berlaku universal dan dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa/ras maupun gender, serta daripadanya kita bisa belajar. Tidak ada seorang pun yang akan mampu menamatkan belajar “Kitab Suci Tuhan” dan tak ada seorang pun yang mampu mengukur kedalaman maupun luasnya isi “Kitab Tuhan” ini, yaitu alam semesta beserta pengisinya.

Salah satu bagian kitab suci adalah dunia besar, yaitu alam semesta tempat kita bisa belajar dan menghayati, bagaimana teraturnya alam (nyakra manggilingan). Bagaimana gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin/udara telah menjalankan kodratnya dan telah memberikan hidup dan kehidupan seluruh makhluk. Begitu pula tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya telah menjalankan kodratnya yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya melaksanakan kemanusiaannya, apakah orang Sunda telah melaksanakan kodrat kesundaannya, apakah orang Jawa tidak ingkar dari kodrat kejawaannya dan sebagainya, namun tidak berarti menganut paham chauvinisme.

Begitu pula bagian kitab suci yang ada pada dunia kecil (diri kita), tidak ada seorang manusia pun yang mampu membuat diri atau bagian dari diri kita yang sangat sempurna ini. Banyak hal yang dapat dipelajari dari diri kita, bagaimana serasinya tubuh kita, bagaimana saling kerja sama, saling ketergantungan dan tolong antarbagian diri kita yang begitu harmoni, di dalam diri banyak hal yang dapat digali.

Kita juga tak akan mampu menamatkan belajar pada diri kita, bahkan sampai hayat meninggalkan raga, begitu luasnya ilmu yang terkandung di dalam diri kita. Dengan demikian, pernyataan Budi Daya dijadikan sebagai “kitab suci” adalah sama sekali tidak benar, melainkan dijadikan sebagai buku ajaran biasa sebagaimana ditulis sendiri oleh Mei Kartawinata sebagai pamendak (penemuan/pendapat). Selain itu, banyak pemikiran-pemikiran dan penemuan Mei Kartawinata yang dituangkan dalam berbagai buku/tulisan/diagram/skema yang punya kedudukan yang sama sebagai buku/materi ajaran.

Hendaknya dipahami bahwa ajaran Mei Kartawinata banyak mengupas dan mendalami tentang aspek-aspek kemanusiaan. Dalam ajaran Mei Kartawinata yang sepengetahuan penulis juga dianut oleh Sunda Wiwitan maupun pengikut Madrais bahwa kita tidak mungkin dapat mengenal Tuhan apabila tidak mengetahui diri kita sendiri. Untuk mengenali Tuhan, kenalilah dulu diri sendiri “nyungsi diri nyuay badan angelo paesan tunggal”.

Dalam pengkajian diri dan sejarah diri, terungkap 3 unsur, yaitu lahir (wadag), batin (halus/hidup), dan aku (yang punya tekad dan menggerakkan lahir dan batin), atau dalam bahasa Sunda dikenal kuring (aku), jelema (orang) dan hirup (hidup). Ke mana dan bagaimana lahir dan batin akan digunakan tergantung sepenuhnya kepada aku (kuring), aku yang bertindak sebagai pengendali (sopir).

Itulah sebabnya timbul istilah “agama kuring” yang sebetulnya sebutan yang bersifat melecehkan dari kalangan yang tidak menyukai terhadap ajaran Mei Kartawinata, bukan timbul dan dikemukakan oleh pengikut Mei Kartawinata sendiri. Penulis mengira kasus yang sama dialami oleh pengikut Madrais yang juga disebut orang luar lingkungannya sebagai “Agama Jawa-Sunda”. Ajaran-ajaran lainnya dari Mei Kartawinata selain sarat dengan aspek-aspek spiritual ketuhanan dan kemanusiaan, juga sarat dengan ajaran mengenai kebangsaan dan “nation building”. Ini bisa dikaji dalam buku-buku dan tulisan-tulisan yang dibuatnya.

Nama Perjalanan memang didasarkan atas pengamatannya terhadap air yang terwujud dari kesatuan tetesan-tetesan air yang tak terhingga banyaknya yang dalam rangka perjalanannya menuju sumbernya di lautan telah memberikan manfaat terlebih dahulu sepanjang jalan bagi kehidupan dan penghidupan segala umat Tuhan. Pengikut Mei Kartawinata harus terus ingat dan mempertanyakan manfaat apa yang telah kita berikan sebagai makhluk paling sempurna untuk kesejahteraan sesama hidup ini. Bagi penulis, kemuliaan seseorang terjadi ketika manusia bersatu dan bekerja sama memberikan manfaat bagi alam semesta ini, bukan malah merusaknya.

Selain itu, penulis merasa prihatin atas penulisan sejarah yang selama ini berlaku dan dianut merupakan warisan penjajahan yang niscaya banyak mengalami distorsi yang berdampak terhadap hilangnya jati diri bangsa dan kepercayaan diri bangsa. Oleh karena itu, penulis mengimbau kepada para sejarawan, antropolog, dan arkeolog, atau siapa pun yang berkompeten untuk coba secara objektif dan dibekali dengan hati nurani dengan menjunjung rasa kebangsaan untuk mengkaji kembali dan merevisi sejarah kebudayaan nasional kita.***
Penulis adalah pengikut ajaran Mei Kartawinata dan seorang planolog/praktisi konsultan pembangunan daerah/kota.

Wednesday, September 07, 2011

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan


Oleh ASEP AHMAD HIDAYAT

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah

SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana

BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang

SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah

DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka

    Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
    Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
    _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
    Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
    Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
    Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
    Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.