Wednesday, February 27, 2008

Mencari Format Bahasa Sunda Egaliter

Apakah bahasa bisa mati? Sepertinya dari penelitian badan PBB UNESCO, bahasa bisa mati.
.
KEJADIANNYA sudah agak lama. Kira-kira satu tahun lalu, kawan-kawan usia remaja, mahasiswa sampai orang tua tumplek berkumpul di sebuah halaman. Sosok Cepot menjadi daya tarik utama kenapa mereka berkumpul. Cepot yang ini ternyata mampu bernyanyi lagu Peterpan bahkan kadang suaranya mirip Pasha dari grup band Ungu.

"Si Cepot gila!...hahahaha...," umpatan sekaligus tawa itu dilontarkan penonton yang duduk di samping saya. "Saya diundang kawan yang menggelar acara ini. Ternyata, bagus ya," ujar Aconk yang duduk di sebelah saya.

Cepot memang menjadi idola pada malam itu. Ia dan beberapa tokoh lain, seperti, Dewala, Acung, dan Semar, seperti menjadi ikon hiburan alternatif baru bagi anak muda Bandung pada malam itu. Kawan Kampus menyukainya. Anak sekolah pun sama.

Akan tetapi, pada sisi lain, Umar Darusman Sunandar sebagai dalang, kerap menahan serbuan kritik. "Menjauhi tradisi," ujar para pengkritik.

Namun pula, Umar Darusman memiliki pendapatnya sendiri. "Wayang itu kan alat. Sebagai alat maka bisa dipakai untuk apa saja," katanya saat pentas di halaman Dapur Swara, Bandung, medio Maret tahun lalu.

Umar yang juga masih tampil dalam program layar kaca berjudul "Pojok Si Cepot", memang agak berbeda tampilan dan kemasannya dengan wayang golek Sunda lainnya. Bahasa pengantarnya tidak selalu dalam ragam bahasa Sunda yang "halus" atau memiliki tingkatan tertentu (undak-usuk), melainkan dalam bahasa keseharian yang sebagian orang menyebutnya dialek "kasar". Misalnya saja, penyebutan kata "aing" sebagai subjek.

"Saat pentas di hadapan anak muda Bandung, saya jarang memberikan kidung Sunda. Tetapi, lagu dari grup band Peterpan, Ratu, Ungu dan sebagainya," ujarnya sambil tertawa.

Ekspresi lain dalam konteks berbahasa dan berbudaya Sunda pada diri kawan-kawan yang lebih muda, misalnya, si Aang dalam acara "Bandung Tea" di stasiun televisi lokal STV Bandung. Karakter kawan berusia 20-an tahun ini, mencerminkan tingkah polah anak-anak kota pada umumnya terhadap identitas lokal mereka.

Acara ini merupakan program ringan yang bercita-cita mengupas Bandung dari empat tema, gaya hidup, kuliner, wisata dan budaya. Usia acara ini sudah tiga tahun dan memiliki sasaran pemirsanya pada kalangan kawan-kawan muda di Kota Bandung.

Dialek Sunda yang digunakannya setara dengan anak-anak Kota Bandung umumnya. Kadang pula dicampur dengan ragam bahasa populer lainnya. Toh, Aang pernah diprotes oleh orang-orang tua. Antara lain, karena dialeknya berantakan, tata bahasanya kacau, dan lain-lain. Tetapi, Aang pun punya penggemar di situs friendster.com mencapai 995 orang! Dan, ternyata, mereka anak-anak seusia si punya acara.

Attay Rustandar, produser STV pada program tersebut tidak sedang memacu debat dengan kalangan yang menginginkan pemakaian bahasa Sunda sesuai "pakem". Namun, sesuatu pesan bisa terganggu jika antara orang yang berinteraksi, menonjolkan eksistensi bahasa yang disandangnya. Artinya, bahasa bisa disesuaikan agar pesan yang diinginkan dapat dipahami.

Lain lagi cerita di tiap Senin-Jumat di stasiun radio I Radio Bandung. Antara pukul 06.00-10.00 WIB, kata sandi isuk-isuk meramaikan bilik siaran. Tiga orang penyiar, Wanda Urban, Elmi Urban dan Ronny Urban yang mengawal acara, akan membalasnya dengan sapaan yang tidak kalah nyunda. Inilah deskripsi singkat program acara "Kokok Pagi". Meski kata sandinya beridiom Sunda, tetapi acara ini bukan program acara berbahasa Sunda!

Nama tiga orang penyiar itu, sebenarnya tidak asing bagi penonton Audisi Pelawak Indonesia Kedua yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swastal. Nama Urban yang mengikuti nama depan mereka merujuk pada identitas pribadi sebagai bagian dari kelompok masyarakat umum di perkotaan.

Nama acara dan kemasan acara ini pernah dilakukan stasiun radio lain, tetapi sempat dikritik karena tidak sesuai segmentasi pendengar. Kritik jalan, tetapi acara jalan terus dan menemukan bentuknya sendiri hingga sekarang. Idiom-idiom Sunda, seperti, maneh, urang, hayang, damang, mah, eta, tea, dan lain-lain kerap terdengar.

Radio swasta ini punya slogan "Seratus Persen Musik Indonesia". Akan tetapi, ini bukan masalah untuk menyelipkan nuansa Sunda dalam perbincangan di bilik siaran. "Yang penting ada standar. Tidak seterusnya berbahasa Sunda dan tidak menyebut ungkapan yang kasar," ujar Andriew "Duta", si produser acara.

Bisa disebut strategi pasar. Namun, sebenarnya, para pembawa acara dan produsernya hanya berpikir sederhana, kami hidup di Bandung. Dengan begitu, bahasa pengantar sesuai dengan telinga kalangan masyarakat umum di perkotaan. "Makanya, tidak selalu bahasa Sunda. Di luar sana ada orang yang bisa berbahasa Sunda, ada dialek yang berbeda, dan ada juga yang tidak mengerti sama sekali tentang Sunda," ujar Wanda.

Dari Cepot sampai Kokok Pagi ini, sebenarnya sebagian saja ekspresi kawan-kawan muda terhadap bahasa lokal mereka. Dari sinilah mereka mendapat kritik sekaligus pujian.

Jangan diadu

Ada debat yang panjang mengenai bahasa Sunda. Ada yang menyebut kalangan anak muda tidak peduli degan bahasa lokalnya. Ada pula yang menyatakan bahwa anak muda peduli, tetapi memiliki ekspresi pribadi masing-masing. Dan, ada pula yang menyebut semua itu tidak persoalan, asal komunikasinya lancar. Tiap pihak memiliki alasan yang sama-sama kuat.

Mengutip Eksiklopedia Sunda yang diterbitkan Pustaka Jaya, bahasa Sunda merupakan simbol yang lahir dan digunakan orang Sunda untuk keperluan komunikasi kehidupan mereka. Sebuah prasasti dalam aksara dan bahasa Sunda di Kawali Ciamis, menjadi bukti adanya bahasa Sunda dari abad ke-14. Diperkirakan prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Namun, dalam sebuah buku yang lain berjudul Antologi Lima Abad Sastra Sunda, ditulis Wahyu Wibisana dan kawan-kawan, ada sebuah dokumen yang menegaskan eksistensi penggunaan bahasa Sunda di wilayah Priangan (Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cianjur, Sukabumi). Di situ tertulis, bahwa pemerintah kolonial mengeluarkan surat keputusan dengan nomor 125/1893 yang isinya menentapkan bahasa Sunda yang harus diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa Sunda dialek Bandung.

Mundur jauh ke belakang, tepatnya pada 1620, Kerajaan Sumedang Larang menjadi bagian dari Mataram. Mataram menjadikan kawasan Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian barat. Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata. Dari situ, konon bahasa para elite pemerintah terdesak oleh bahasa Jawa. Pengaruh itu pun menunjuk pada terciptanya tingkatan bahasa atau undak-usuk basa dan kosa kata Jawa masuk pula ke dalam bahasa Sunda, mengikuti pola bahasa Jawa yang disebut unggah-ungguh basa. Tingkatan bahasa lebih pada menempatkan seorang penutur untuk membaca siapa lawan bicaranya. Jika lebih tua ada aturan dan lebih muda atau setara pun ada aturan idiom yang digunakannya. Inilah yang belakangan menuai perdebatan.

Undak-usuk basa dianggap sebagai sisa-sisa feodalisme, sehingga tidak menetapkan subjek-subjek yang berbicara pada posisi yang egaliter. Sedangkan, undak-usuk basa memosisikan seseorang lebih tinggi dan satu lagi lebih rendah. "Untuk menentukan siapa yang lebih di atas pun, banyak kriterianya," ujar Hawe Setiawan, Pemimpin Redaksi majalah berbahasa Sunda, Cupumanik.

Perdebatan tentang undak usuk juga mangandung soal tentang adumanis bahasa Sunda dengan Indonesia. Lagi-lagi konfliknya adalah muncul kata "tidak boleh". Akibatnya adu kuat pengaruh, pendapat, dan sindiran pun terus berlanjut. "Buat apa diadu seperti itu terus? Biarkan saja masing-masing berkembang. Sebab, bagi bahasa Sunda merupakan peluang mendapatkan kosakata baru," ujar Hawe.

Bisa jadi, pandangan ini moderat, tetapi serupa dengan pandangan bahwa mematikan salah satu berarti menunjukkan upaya untuk melakukan homogenisasi. Kita pernah tahu sejarah kelam dunia, ketika Hittler berpikir Ras Aria sebagai ras terhebat di muka bumi. Kehebatannya di segala hal, sampai dengan budaya dan bahasanya. Dengan begitu tidak boleh ada yang mengotorinya. Yahudi jadi korban. "Sangat berbahaya jika harus mematikan salah satunya. Semuanya harus diberi tempat," ujar Kunto Adi, staf pengajar Manajemen Komunikasi, Fikom Unpad.

Tinggal sebenarnya masalah global yang harus dipahami dalam perdebatan ini. Persoalan tidak sekadar perdebatan lokal. Indonesia secara umum merupakan negara terbuka. Segala macam perjanjian ekonomi dan politik dibuka selebar-lebarnya dengan negeri tetangga. Mesin ekonomi dari negara Barat tidak hanya memindahkan pabrik dan uang, tetapi di situ ada seperangkat norma budaya. Sadar atau tidak, mesin itu pelan-pelan membuat budaya menjadi homogen. "Hibriditas bahasa itu perlu terus diperiksa agar tidak menyebabkan homogenisasi budaya," ujarnya mewanti-wanti tentang dampak globalisasi dan kapitalisme.***

agus rakasiwi
kampus_pr@yahoo.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home