Oleh CHAERUL SALAM
PANGERAN Walangsungsang suatu malam di tahun 1442 (setahun setelah ibundanya Nyai Subang Larang meninggal) bermimpi. Seseorang yang entah siapa, dalam mimpinya itu memerintahkan dirinya untuk segera pergi ke arah timur menuju bukit Amparan Jati Caruban untuk mempelajari "agama mulya".
Esok paginya, dengan tetap merahasiakan mimpinya, juga kepada ayahandanya Prabu Siliwangi di keraton Pakuan Pajajaran itu, ia mencoba menaksir-naksir makna mimpinya. Bukit Amparan Jati adalah tempat di sekitar kelahiran ibundanya Nyai Subang Larang putri Ki Ageng Tapa, penguasa pelabuhan Muara Jati yang ramai itu. Ia banyak mendengar kisah-kisah dengan nuansa religius di sekitar tempat itu dari penuturan ibundanya.
Pangeran Walangsungsang tahu jika di Amparan Jati terdapat sebuah pesantren dengan seorang guru agama yang amat disegani bernama Syekh Datuk Kahfi. Dan isi mimpinya juga memiliki pesan yang mirip, ia harus belajar agama pada seorang ulama bernama Syekh Datuk Kahfi.
Maka kemudian, di tengah malam yang gelap dan sepi, Walangsungsang, dalam usia yang masih sangat muda, 19 tahun, diam-diam pergi meninggalkan keraton tempat tinggalnya. Kepergiannya yang tanpa pamit itu tidak hanya membuat ribut seisi keraton, namun juga membuat sedih adiknya Nyimas Rarasantang. Hingga kemudian, didorong rasa cinta kepada kakandanya, Nyimas Rarasantang, dalam usia yang juga masih belia, 16 tahun, akhirnya mengikuti jejak Walangsungsang untuk pergi diam-diam pula meninggalkan keraton Pakuan Pajajaran. Kejadian ini kemudian membuat kian gempar istana.
Demikian dua naskah, Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) susunan Pangeran Arya Carbon tahun 1720 dan Babad Cerbon (tanpa nama penyusun), mendeskripsikan asal-muasal kejadian yang di kelak kemudian hari akan menjadi semacam awal mula berdirinya keraton (witana), dan kemudian kerajaan Cirebon.
Naskah CPCN suntingan Atja (1986) melukiskan dengan rinci situasi muasal kepergian Pangeran Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang setahun sepeninggal ibundanya dari istana Pakuan Pajajaran sebagai berikut.
Manahira muwang kasamp(a) ya de ning kadhang len ibu ikang abhimana [h] lawan darpa/isedhengira sang rama datan kopenan ring anakira ika/makanimittanya narendrasuta muwang manah kasajitan kadhuka//sawarta tumuli yathika ri kala madya eng ratri mijil ta ya sakeng pakwan kedatwan/mangetan paranira/mahaseng wanantara Parahiyangan mandala (halaman 10).
Terjemahannya, karena ibunya telah tiada, putra-putri itu senantiasa disakiti hatinya. Ketiganya mendapat perlakuan yang buruk dari saudara-saudaranya lain ibu, yang congkak dan takabur. Tambahan pula ayahnya tidak menaruh perhatian kepada para putera yang telah kematian ibunya itu. Oleh karena itu para putera maharaja itu sangat menderita dan menjadi sakit hati. Setahun kemudian, pada waktu tengah malam Raden Walangsungsang melarikan diri dari istana Pakwan pergi ke arah timur, memasuki hutan belantara Parahiyangan. (Suntingan Atja, 1986: 157-158).
Inti gagasan kutipan naskah Carita Purwaka Caruban di atas ditandai dengan model "kepergian Walangsungsang yang disebabkan rasa sakit hati". Varian dari matriks tersebut adalah, 1) saudara seayah lain ibu yang menyakiti Walangsungsang bersaudara, 2) ayahanda yang tidak peduli lagi kepada putra-putrinya sepeninggal istrinya.
Kepergian Walangsungsang ke arah timur adalah upaya menemukan pencerahan dari kemelut batin yang pengap, yang dirasakannya di lingkungan istana kerajaan tempat tinggalnya semula bersama ayah, ibu, dan sudara-saudaranya yang lain selama ini. Ia pergi meninggalkan keraton dengan segenap kenikmatan duniawi di dalamnya. Walangsungsang kemudian merelakan diri bersusah-susah hidup di tengah belantara hutan Parahiyangan. Ada semacam makna pencarian hakikat kebahagiaan hidup yang diawali dengan kenestapaan sebagai batu ujian sebelumnya, di dalam teks CPCN tersebut.
Dalam teks yang lain, naskah Babad Cirebon (tidak diketahui penyusun aslinya), suntingan SZ Hadisucipto (1979) juga diuraikan hal serupa. Ringkasan naskah tersebut pada pupuh 1 dhandanggula berbunyi sebagai berikut. "Walangsungsang, putra mahkota Pajajaran lolos meninggalkan istana. Ia menuruti panggilan mimpi agar berguru agama nabi (Islam) kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa di bukit Amparan Cirebon dan berasal dari Mekah" (Sucipto, 1979: xv).
Kemudian ringkasan pupuh 2 kinanti, "Rarasantang, adik Walangsungsang amat bersedih hati ditinggal pergi kakaknya. Ia terus-menerus menangis. Derita hatinya tak tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana" (Sucipto, 1979: xv).
Dua kutipan ringkasan pupuh dari naskah Babad Cirebon suntingan Sucipto tersebut memiliki kesamaan hakikat akan keteguhan hati kakak beradik Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang terhadap pentingnya nilai-nilai kebenaran "baru" yang harus segera mereka yakini sebagai sebuah pedoman hidup. "Dendam" akibat perlakuan yang menyakitkan hati dan dorongan untuk menemukan pencerahan pandangan hidup baru itulah tampaknya yang memberi kekuatan besar kepada mereka berdua untuk tetap tabah meski hambatan fisik berupa "gunung" dan "lembah" menghadang perjalanan mereka menuju dunia baru kelak, menjadi penghambat di tengah belantara Parahiyangan.
Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang kelak menjadi Pangeran Cakrabuana pendiri Cirebon dan Syarifah Mudaim, ibunda Sunan Gunung Jati, panata agama terkemuka di wilayah Jawa bagian barat yang kelak menurunkan silsilah raja-raja Cirebon. Keduanya adalah sosok yang rela meninggalkan segenap fasilitas istana dalam statusnya sebagai putra mahkota kerajaan Pajajaran.
Ajaran bijak yang dapat ditangkap dari kutipan dua naskah CPCN dan Babad Cirebon tersebut di atas adalah, betapa kekuasaan bukanlah segala-galanya untuk seorang pendiri Cirebon Pangeran Walangsungsang dan ibu dari seorang ulama besar penyebar agama Islam di Jawa Barat Sunan Gunung Jati. Sesuatu yang semestinya menjadi panutan bersama, khususnya bagi para turunan silsilah mereka berabad kemudian, keluarga besar kasultanan Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan, menjadi raja (sultan) adalah amanah mulia sebagaimana leluhur mereka dahulu mengajarkannya melalui kutipan-kutipan teks CPCN dan Babad Cirebon.
Menjadi raja bukanlah persoalan fisik administrasi kerajaan semata-mata. Namun ada yang lebih luhur sebagaimana tanda-tanda teks CPCN dan Babad Cirebon mewariskan "hutan belantara Parahiyangan" yang menghambat perjalanan Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang dalam mencari amanah "agama mulya" yang harus segera didapatkannya. Sebagaimana Robert Heine-Geldern dalam bukunya Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara menyebutkan bahwa fungsi raja yang lain, dan yang lebih penting menurutnya adalah kapasitasnya sebagai sentra magis. Dibandingkan dengan sekadar persoalan regulasi administratif belaka.
"Kasus Kanoman", perebutan tahta yang sesungguhnya telah membuka rahasia kekeliruan tafsir para kerabat dan keturunan Sunan Gunung Jati terhadap hakikat kekuasaan, harus didudukkan pada pemahaman akan hakikat keberadaan sultan yang hakiki, yakni sebagai pancer nilai-nilai. "Sultan" dengan segenap makna kekuasaan yang disandangnya susungguhnya lebih merujuk kepada pemaknaan hal-hal yang bersifat nation, kebangsaan. Ada kecenderungan pemahaman ideologi dalam konsep "kekuasaan" yang dipraktikkan Sunan gunung Jati dahulu. Artinya, ketika Sunan Gunung Jati memproklamasikan diri sebagai negeri berdaulat yang ditandai dengan penghentian pengiriman upeti ke Pajajaran sebagai sentra sistem negara federasi yang dipraktikkan selama ini, sesungguhnya semata didorong oleh hasrat-hasrat ekspansi ranah ideologi tertentu kepada ranah ideologi lain di Pajajaran. Ia amat berbeda dengan eskpansi dengan disertai hasrat penguasaan wilayah administratif politik yang bersifat state, kenegaraan.
Pertanyaannya, atas nama apakah sesungguhnya pihak-pihak terkait memperebutkan tahta sekarang dan mencapai titik terpanas di dalam tembok keraton Kanoman itu? Pepakem dan surat wasiat, dua dalih yang dijadikan dasar persilangan pendapat kubu-kubu yang bertikai itu, bisakah keduanya dipertanggungjawabkan secara ilmiah menurut kajian kategori-kategori ilmu kebudayaan? Jika pepakem yang dijadikan landasan penetapan kebenaran, di manakah bisa didapatkan rincian tertulisnya sebagai sebuah teks (tulis) yang dapat dipertanggungjawabkan? Sebaliknya, jika surat wasiat yang dijadikan landasan pengambilan keputusan, bisakah pula dibeberkan fakta pembenar atas kebenaran yang diyakini kelompok tersebut? Fakta pembenar itu, misalnya terdapatnya sebuah uraian teks (tulis) tentang kemungkinan suksesi dengan menggunakan dasar surat wasiat.
Jika dasar "pepakem" dan "surat wasiat" yang keduanya sama-sama diyakini sebagai sebuah alasan pembenar, dan hanya dilandasi teks (lisan), maka seberapa validkah narasumber lisan yang menyuarakan kebenaran terhadap dua dalih yang dipertentangkan kedua kubu tersebut? Diperlukan kearifbijaksanaan dari kubu keduanya.
Yang jelas, dengan melihat fakta hari ini, ketika keraton menjadi kehilangan kekuatan dirinya sendiri akibat berbagai sebab, maka menjadi penting untuk dipertanyakan kembali, seberapa proporsionalkah predikat yang disandangkan orang terhadap mereka selama ini dengan memperkatakannya sebagai "pusat kebudayaan" (?).
Ketika teks-teks naskah kuno berhilangan, tradisi berkesenian yang macet, kreasi-kreasi kultural tidak pernah terdengar dari balik tembok keraton, apalagi yang menarik untuk diperbincangkan tentang keraton-keraton Cirebon. Bukankah Gamelan Sekaten, panjang jimat, naskah-naskah kuno itu, tari topeng, tari bedaya, dan banyak macam lagi, semua itu menjadi ada dari ketiadaan. Ia menjadi berada oleh karena sebuah sikap kreatif para budayawan dan empu di masa lampau yang merespon "teks" di sekitar mereka untuk kemudian diadaptasi menjadi kreasi baru yang cerdas. Dan bahkan, dalam beberapa bagian, kreasi-kreasi itu menjadi amat rumit tingkat stilisitasnya. Ritual-ritual kebesaran keraton, nilai-nilai tradisi, pepakem, dan yang semacamnya menjadi sebuah "karya" yang dibanggakan bagi sebagian besar kerabat keraton.
Semua itu menjadi ada dari sebuah ketiadaan. Unsur rekayasa, dengan mencipta dan merespons teks hipogram di sekitarnya, bukanlah peristiwa sederhana yang sim salabim begitu saja menjadi ada. Proses kreatif itu adalah pergulatan ideologi yang paripurna, yang di dalamnya berkolaborasi ranah penghayatan dan pemahaman dasar-dasar ideologi tersebut. Pertemuan kognisi dan signifikansi atas objek yang dicermati adalah peristiwa yang cukup mendebarkan. Dan Sunan Gunung Jati pada masanya, dengan segenap wibawa yang dimilikinya, telah mampu "menyihir" begitu banyak empu dan seniman, untuk dengan ikhlas dan rela hati mempersembahkan buah kreativitasnya itu sebagai bentuk pengabdian dan penghormatannya kepada sang sunan.
Maka, jika di belakang hari berabad kemudian kita menyaksikan kekayaan-kekayaan itu berserakan begitu banyaknya di seputar wilayah budaya Cirebon, semua itu dimungkinkan oleh sistem operasional kekuasaan ala Sunan Gunung Jati yang dilandasi "kebangsaaan" semata, bukan fisik penguasaan "tanah". Sesuatu yang kini tidak terjadi, dan justru sedang didekonstruksi oleh para keturunannya sendiri. Dan mereka melupakan representasi dari corak "kekuasaan" Sunan Gunung Jati yang paling banyak dikutip orang melalui wasiatnya, "sun titip tajug lan pakir miskin." Kanjeng Sunan tidak pernah mewasiatkan tahta yang gemerlap atau tanah yang bertombak-tombak itu luasnya.***
Penulis, mahasiswa jurusan sastra program pascasarjana UGM, tinggal di Kota Cirebon.