Secuil Sisa ”Highway Pajajaran” di Karangkamulyan
Rakyat Sejahtera ”Bru di Juru, Bro di Panto”
Turis yang hendak berkunjung ke Pangandaran, misalnya, bisa singgah dulu di Karangkamulyan. Apalagi ahir-ahir ini, berbagai fasilitas dan kemudahan telah disediakan di sana. Di samping areal wisata situs Karangkamulyan, misalnya, ada area peristirahatan bagi wisatawan, dibangun oleh Deparpostel. Di kompleks Karangkamulyan juga ada masjid yang tengah dibangun.
Menurut penelitian, Karangkamulyan diduga sebagai bekas pusat Kerajaan Galuh Purba. Ini terbukti dengan banyak ditemukan sisa-sisa peninggalan masa itu di wilayah itu. Kalau saja pihak-pihak tekait lebih sigap dalam mengadakan penelitian, bukti-bukti masa lalu tentu bisa terselamatkan lebih banyak lagi.
Juru kunci Karangkamulyan, A. Sumarsana mengatakan, ketika diadakan penelitian di wilayah perkampungan seberang jalan, hingga kini masih banyak ditemukan sisa-sisa benda masa lalu. "Sayang, wilayah yang semula merupakan kawasan keraton, kini sudah jadi tempat hunian masyarakat," katanya.
Namun demikian, bahwa di areal Karangkamulyan dulunya merupakan hunian manusia masa-lalu memang masih bisa ditemukan dengan baik kendati tak utuh benar. Juru kunci Sumarsana bahkan menyebutkan bahwa "highway" (jalan-raya) Pajajaran masih tersisa di sini. "Bahkan mungkin, inilah sisa terakhir dari rentangan jalan raya masa itu," tutur Sumarsana sambil mengajak penulis untuk melihat sisa "jalan lama".
Di zaman Galuh Purba memang sudah ada jalan pedati yang menghubungkan Galuh dengan negeri-negeri di Jawa Barat. Namun jalan ini jadi semakin berkembang sesudah masuk ke zaman Pajajaran. Jalan raya itu dulunya bisa menghubungkan komunikasi transportasi ke semua wilayah negeri. Jalan raya itu biasa disebut sebagai jalan pedati, sebab bisa dilalui pedati, yaitu kendaraan paling besar untuk ukuran zaman itu. Apa yang diutarakan Sumarsana sebenarnya sudah tertera dalam catatan sejarah yang pernah dibuat oleh bangsa asing.
Ten Dam misalnya, seperti yang ditulis ulang oleh Moh. Amir Sutaarga dalam bukunya "Prabu Siliwangi", menyebutkan, bahwa ada jalan pedati yang jadi sarana transportasi ke beberapa wilayah Pajajaran. Dari Kota Pakuan, ada jalan raya ke wilayah Timur, melalui Cileungsi, Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, terus belok agak ke selatan untuk menuju wilayah Sumedanglarang, sedikit mengarah ke timur melalui Tomo, Sindangkasih (Majalengka), Rajagaluh, Talaga, terus ke selatan menuju ke Kawali dan berakhir di Karangkamulyan, Galuh.
Di wilayah Rajagaluh, jalan raya itu bercabang sebagian ke utara menuju Palimanan, dan lurus ke timur menuju Singaparna dan Cirebon. Sementara dari Kota Pakuan ke wilayah Barat, ada lagi jalan menuju Tanjungbarat, Muaraberes, Tangerang dan berakhir di Banten.
Jaringan jalan pedati itu sanggup meningkatkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Jawa Barat di bawah panji Pajajaran kala itu, yaitu di saat Pajajaran dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang oleh sementara versi disebut sebagai Prabu Siliwangi. Mungkin untuk menggambarkan suasana kehidupan saat itu pula, pada akhirnya tercipta sebuah peribahasa "bru di juru bro di panto, ngalayah di tengah imah", atau ada "leuit salawe jajar, sajajarna aya salawe jajar deui". Itu untuk menggambarkan betapa masyarakat Sunda pernah mengalami satu zaman yang adil makmur gemah-ripah lohjinawi. Adil pemimpinnya, sejahtera rakyatnya.
Jaringan kehidupan sosial-ekonomi di masa itu memungkinkan rakyat untuk menjadi makmur. Pajajaran, selain memiliki jaringan sarana transportasi darat seperti "highway Pajajaran", juga memiliki beberapa pelabuhan penting, beberapa di antaranya bertindak sebagai pelabuhan internasional. Pelabuhan-pelabuhan itu di antaranya adalah Pontang, Cibanten (keduanya ada di wilayah Banten), Sundakalapa, muara Cisadane, muara Citarum (ujung Karawang), dan muara Cimanuk. Pelabuhan-pelabuhan tersebut masih dipergunakan hingga masa VOC (Husein Djajadiningrat).
Tersisa di Karangkamulyan
Zaman terus bergulir dan suasana terus hilang berganti. Di masa kini, apa yang disebut jalan raya Pajajaran hilang sudah, tergantikan oleh sarana jalan yang baru seperti jalur jalan Daendels yang menghubungkan Anyer dan Panarukan, misalnya. Untuk kepentingan-kepentingan sosial-ekonomi penjajah Belanda, seperti untuk membuka cakrawala perkebunan, Belanda banyak membuka jalan baru dan secara otomatis telah membekukan sarana jalan yang lama. Sehingga pada kurun waktu tertentu, jalan lama hilang sudah dan tak berfungsi.
Jalan raya Pajajaran hilang digerus zaman.
Namun demikian, tetap masih bersisa juga kendati hanya tinggal belasan meter saja panjangnya. "Ini sisa jalan Pajajaran," tutur Sumarsana.
Jalur sepanjang belasan meter di kompleks situs Karangkamulyan tersebut, lebarnya tak ubahnya seperti jalan pedati saja. Menurut Sumarsana, jalan ini dulu menuju ke gerbang Keraton Galuh. Untuk melakukan perjalanan jauh, orang Galuh dimulai dari jalan ini.
Percaya bahwa itu merupakan jalur jalan lama yang menghubungkan Kerajaan Galuh dengan wilayah-wilayah lain (termasuk untuk menuju ke Kota Pakuan, Bogor), hingga kini "jalan" tersebut dilestarikan, dibiarkan berupa sebuah jalur pendek dan tak boleh diganggu oleh bangunan apapun.
"Kita inginkan sebuah peninggalan kebesaran masa lalu, kendati hanya secuil," tutur Sumarsana tersenyum kecil. (Aan Merdeka Permana/Galura).***