Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda
Oleh DADAN WILDAN
Ti meletuk datang ka meleték
ti segir datang ka segir deui
lamun dirobah buyut kami
lamun hujan liwat ti langkung
lamun halodo liwat ti langkung
tangsetna lamun buyut dirobah
cadas maléla tiis
buana larang, buana tengah, buana nyungcung
pinuh ku sagara (Pikukuh Baduy).
Masuknya Islam Ke Tatar Sunda
Dari Sunda Wiwitan Ke Sunda Islam
Madrais dan Aliran Perjalanan
Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda
Ti meletuk datang ka meleték
ti segir datang ka segir deui
lamun dirobah buyut kami
lamun hujan liwat ti langkung
lamun halodo liwat ti langkung
tangsetna lamun buyut dirobah
cadas maléla tiis
buana larang, buana tengah, buana nyungcung
pinuh ku sagara (Pikukuh Baduy).
AJARAN Islam di Tatar Sunda selain telah mengubah keyakinan seseorang
dan komunitas masyarakat Sunda juga telah membawa perubahan sosial dan
tradisi yang telah lama dikembangkan orang Sunda. Penyesuaian antara
adat dan syariah seringkali menunjukkan unsur-unsur campuran antara
Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dapat dipahami karena
para penyebar Islam dalam tahap awal menggunakan strategi dakwah
akomodatif dengan mempertimbangkan sistem religi yang telah ada
sebelumnya.
Masuknya Islam Ke Tatar Sunda
ABAD pertama sampai keempat hijriyah merupakan fase awal proses
kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini antara lain ditandai kehadiran
para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak
permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Sunda terjadi
dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni
orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan
masyarakat yang menerimanya.
Di tatar Sunda, menurut naskah “Carita Parahiyangan” diceritakan
seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah
Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau
Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai
saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran,
sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat
bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang
Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji
dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali
menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji
Purwa.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda tahun 1337 Masehi dijadikan
titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti
bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda
berasal dari Makah yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada
tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir
utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman.
Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat
disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari
Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat
masih kuat.
Sementara itu, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah
pimpinan Syekh Hasanuddin yang dikenal dengan sebutan Syekh Quro sebagai
penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang pada abad
ke-15 sekira tahun 1416 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi yang
bermukim di Pasambangan, bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati,
kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon. Keduanya lalu
menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren masing-masing.
Pesantren di Muara Jati semakin berkembang ketika datangnya Syekh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Mesir. Ia masih keturunan
Prabu Siliwangi bermukim di Cirebon sejak tahun 1470 dan mulai
menyebarkan syiar Islam ke seluruh wilayah tatar Sunda mulai dari
Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Bogor, hingga Banten. Atas
perjuangannya, penganut kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu,
dan Budha beralih menjadi Muslim, sedangkan penganut ajaran Sunda
Wiwitan merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan ke pedalaman Baduy.
Pada tahap awal, sebagaimana dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama
Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat
tinggal para tokoh agama tersebut. Seiring terbentuknya
pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama atau para
guru agama yang mendidik para santri, syiar Islam mulai berkembang pesat
di tatar Sunda sejak pertengahan abad ke-15.
Dari Sunda Wiwitan Ke Sunda Islam
PADA proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar
Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang
bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa
Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dikenal dengan
masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam
dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari
komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah
kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek
moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa
(Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa),
Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib)
yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan
pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan
kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia
sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang
dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka
Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal
perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1992:5).
Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah
dari wadah tiga buana, yaitu (1) Buana Nyungcung sama dengan Buana
Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat
paling atas; (2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia
pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia
dan mahluk lainnya; dan (3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau
Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca
Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan
proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung
dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas
ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan
tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.
Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius
diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat
tujuan utama: yaitu (1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2)
menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3)
menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4)
melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan
demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara
berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun,
menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di
dunia damai sejahtera.
Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas
penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut
Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas
yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan
Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung,
Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon
Pajajaran Seureun Papan.
Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan
mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam
sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992;2-3) mereka
menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang
Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur
are. Arti dari istilah urang are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti
bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja dulur are.
Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang
are yaitu dulur are. Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam
tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan
kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang
membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.
Madrais dan Aliran Perjalanan
BERBEDA dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya
akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda
dalam komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang
dikembangkan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata
di Ciparay Kabupaten Bandung.
Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan
ajaran baru yang mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama
(pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan disebutnya sebagai Ajaran
Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura
sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran
antara lain dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil
bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang Sri adalah Dewi
Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang
penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar
hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad,
tetapi menolak Alquran dengan anggapan bahwa Alquran yang sekarang tidak
sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang kiamat.
Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939
dilanjutkan anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran
Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun
Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran
karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam.
Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan
mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan “Agama
Kuring” (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay Kabupaten
Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit
untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui
perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air
dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia
menulis buku “Budi Daya” tahun 1935 yang dijadikan ‘kitab suci’ oleh
para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda
Wiwitan, Hindu, Budha, dan Islam.
Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda
PERJUMPAAN Islam dengan Budaya Sunda tidak melanggengkan tradisi lama
seperti Sunda Wiwitan dan tidak memunculkan ajaran baru seperti Agama
Djawa Sunda dan aliran kepercayaan Perjalanan adalah adaptasi antara
Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi budaya yang melekat di
masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena umumnya dalam tradisi budaya
masyarakat Muslim di tanah Jawa oleh Mark R. Woodward disebut
Islam-Jawa, adaptasi unsur-unsur tradisi dengan Islam tampak sekali,
misalnya adaptasi budaya dalam penamaan bulan. Bulan-bulan dalam tradisi
Jawa—termasuk juga Sunda—sebagian mengadaptasi bulan Hijriah yaitu Sura
(Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud
(Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil
Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal),
Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).
Penyesuaian yang bijaksana atas sistem kalender Jawa Kuno (tahun
Saka) ke dalam sistem kalender Islam dibuat tahun 1663 Masehi oleh
Sultan Agung dari kerajaan Mataram yang menetapkan tahun 78 Masehi
sebagai titik awal tahun Saka. Dengan sistem penanggalan baru tersebut,
bulan pertama dalam kalender Jawa disamakan dengan bulan pertama
kalender Islam yang sekarang menginjak tahun 1936 Saka (1424 H). Hal
ini—menurut Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional
Javanese Village”—dimungkinkan dalam kehidupan beragama di Jawa, karena
sikap lentur orang Jawa terhadap agama dari luar. Meskipun kepercayan
animisme sudah mengakar sejak zaman dahulu, orang Jawa dengan mudah
menerima agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, lalu ‘men-jawa-kan’
semuanya.
Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh ‘penyesuaian’ juga
dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih
sangat jarang, kitab suci masih barang langka, dan kehidupan masih
diwarnai unsur mistis, penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah
melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi.
Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam
komunitas Sunda yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam
upacara-upacara tertentu seperti tujuh bulanan, marhabaan, kelahiran,
dan cukuran. Seringnya dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini
melahirkan banyak naskah yang berisi tentang kisah-kisah kenabian,
seperti Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Babar
Nabi, dan Wawacan Nabi Paras yang ditulis dengan huruf Arab, berbahasa
Sunda dalam bentuk langgam pupuh, seperti Pupuh Asmarandana, Sinom,
Kinanti, Dangdanggula, dan Pangkur. Untuk mengikat pendengar yang hadir,
si pembaca naskah menguncinya dengan membaca sebuah kalimat: Sing saha
jalma anu maca atawa ngadengekeun ieu wawacan nepi ka tamat bakal
dihampura dosa opat puluh taun. Dengan khidmat, si pendengar menikmati
lantunan juru pantun yang berkisah tentang ajaran Islam ini dari selepas
isya hingga menjelang subuh.
Sejak agama Islam berkembang di Tatar Sunda, pesantren, paguron, dan
padepokan yang merupakan tempat pendidikan orang-orang Hindu, diadopsi
menjadi lembaga pendidikan Islam dengan tetap menggunakan nama pasantren
(pasantrian) tempat para santri menimba ilmu agama. Pesantren ini
biasanya dipimpin seorang ulama yang diberi gelar “kiai”. Gelar kiai ini
semula digunakan untuk benda-benda keramat dan bertuah, tetapi dalam
adaptasi Islam dan budaya Sunda, gelar ini melekat dalam diri para ulama
sampai sekarang. Di pesantren ini jugalah huruf dan bahasa Arab
mendapat tempat penyebaran yang semakin luas di kalangan masyarakat
Sunda dan menggantikan posisi huruf Jawa dan Sunda yang telah lama
digunakan sebelum abad ke-17 Masehi.
Dalam sejumlah doktrin dan ritus tertentu, di Tatar Sunda pun
berkembang ajaran Islam yang mengadopsi unsur tapa dalam agama Hindu dan
diwarnai aspek-aspek mistis dan mitologis. Dari banyak unsur tradisi
Hindu-Jawa yang tetap bertahan adalah kesaktian, praktik tapa, dan
tradisi Wayang yang terakomodasi dalam jalan orang-orang yang mencari
kesalehan normatif sekaligus melestarikan ajaran kebatinan.
Dalam bidang arsitektur, pembangunan arsitektur masjid dan rancang
bangun alun-alun dan keraton diwarnai perpaduan antara budaya Sunda
dengan Islam. Di setiap alun-alun kota kecamatan dan kabupaten sejak
Sunan Gunung Jati berkuasa (1479-1568) dibangun Masjid Agung yang
terletak di sebelah barat alun-alun, di samping pasar, keraton, serta
penjara dengan penyesuaian fungsi dan posisinya sebagai bangunan pusat
pemerintahan kerajaan berdasarkan Islam dengan masjid (bale nyungcung)
sebagai simbol utama. Simbol bale nyungcung ini mengisyaratkan adaptasi
tempat Sanghyang Keresa bersemayam di Buana Nyungcung (buana atas) dalam
ajaran Sunda Wiwitan.
Beberapa contoh di atas, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah melahirkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat,
tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam
melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan
pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam
dan budaya Sunda.
Kedua, berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan,
misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah
mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke
dalam rancang bangun arsitektur Islam.
Ketiga, berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang
menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring
dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan
tradisional bernapaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda
yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan.
Keempat, pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan
pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya
sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian
naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan
masyarakat Sunda, dan
Kelima, berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti
upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan
yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan
pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.
Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan
budaya dan komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda telah melahirkan
tiga aspek religiusitas yang berbeda. Pertama, terkungkungnya satu
wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di
Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan; kedua lahirnya
tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran
Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran
Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di
Ciparay Kabupaten Bandung; dan ketiga terciptanya kehidupan harmoni dan
ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada
dan satu sama lain saling melengkapi.
Terlepas dari itu semua, pemahaman pelaksanaan adaptasi dan harmoni
antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi Sunda sebagai adat
istiadat warisan budaya lama disadari akan menimbulkan pemaknaan yang
berbeda. Di satu pihak ada yang menganggap bahwa berbagai upacara
tradisi itu adalah adat istiadat yang perlu tetap dilestarikan dan
sejalan dengan agama Islam, bahkan menjadi ‘sunah’, sebaliknya di pihak
lain ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam yang diwarnai oleh tradisi
dan budaya Sunda adalah bentuk perbuatan bidah.***
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 26 Maret 2003.