Benarkah Ki Sunda Sudah Terpuruk?
Oleh DINKA S. PRADJA
SAAT ini banyak kalangan di tatar Sunda mengulas tentang keberadaan Ki Sunda. Pada umumnya mereka mengulas tentang memudarnya jati diri Ki Sunda yang seolah telah hilang atau ditinggalkan oleh sebagian besar Ki Sunda khususnya oleh generasi muda karena bermacam sebab.
Kekecewaan demi kekecewaan tercetus karena merasa bahwa Ki Sunda saat ini sudah mulai terpuruk dan keberadaannya bagai jati kasilih ku junti, benarkah demikian?
Sejarah tatar Sunda, sepenggal kecil wilayah dari sekian luas kawasan nusantara, kepulauan terbesar di dunia, sejak dahulu kala konon sudah banyak disinggahi para pendatang dari berbagai belahan bumi, seakan memiliki pesona dan magnet yang mampu menyedot para pendatang untuk datang dan bermukim di sini. Pembauran ras dan budaya bercampur aduk, secara bertahap berkembang membentuk budaya baru dan baru lagi. Budaya yang selalu dinamis berkembang mengikuti perjalanan waktu, mulai dari pola pikir dan pola hidup yang paling sederhana sampai kepada pola yang kita jalani di abad 21 ini.
Sejarah mencatat bahwa langkah Ki Sunda telah berjalan menempuh rentang waktu yang amat panjang, konon sejak zaman Aki Tirem di ujung barat tatar Sunda di abad pertama masehi sampai saat ini. Kebangkitan dan keterpurukan Ki Sunda dari masa ke masa bergulir silih berganti, berfluktuasi sejalan dengan peran para tokoh sejarahnya. Berbagai episode telah menghias ilustrasi perjalanan skenario sejarah di tatar Sunda.
Salah satu episode yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda adalah era Pajajaran (1482 M-1579 M) yang pernah mengalami masa kejayaan pada zaman pemerintahan pendirinya Prabu Siliwangi (1482 M-1521 M) dan kemudian terpuruk sampai pada total kehancurannya di tahun 1579 M akibat ulah para generasi penerusnya.
Tome Pires, orang Portugis yang berkunjung ke Pakuan tahun 1513 M, menyebutkan Sunda sebagai "negeri ksatria dan pahlawan laut". Menurutnya, orang Sunda menarik (goodly figure), ramah, tinggi kekar (robust), dan they are true man (orang jujur). "The Kingdom of Sunda is justly governed" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil).
Menurut cerita Parahiyangan, Purbatisti purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Oleh karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera). Tahun 1521 M, Prabu Siliwangi wafat dan dipusarakan di Rancamaya setelah memerintah selama 39 tahun.
Penggantinya, Surawisesa Sang Putera Mahkota naik tahta. Pada saat pemerintahan ayahnya, dia dua kali diutus sebagai duta Pajajaran untuk menjalin persahabatan dan hubungan dagang dengan Alfonso d'Albuquerque, raja muda Portugis di Malaka. Perjalanannya ke Malaka ini digubah oleh pujangga pantun menjadi cerita Raden Mundinglaya Dikusumah.
Pada era pemerintahannya, pecah perang saudara antara Pajajaran dan Cirebon. Galuh dikalahkan dan dikuasai Cirebon yang dibantu Demak sehingga Surawisesa hanya menguasai dan mempertahankan wilayah kerajaan Sunda, warisan dari kakeknya. Perang yang berlangsung selama 5 tahun itu berakhir dengan perdamaian. Surawisesa wafat pada tahun 1535 M dan dipusarakan di Padaren.
Putera Surawisesa, Ratu Dewata menggantikan ayahnya. Ia sangat alim (lumaku ngarajaresi) dan merasa aman karena sangat percaya pada jaminan perjanjian damai yang dibuat ayahnya dengan Cirebon. Namun Banten, sekutu Cirebon, kurang setuju terhadap isi perjanjian karena hanya aman bagi Cirebon, tapi kurang aman bagi Banten. Agar tidak melanggar perjanjian, Banten membentuk pasukan tambuh sangkane (tanpa identitas) untuk menyerang Pakuan, namun benteng yang dibangun Sri Baduga sulit ditembus. Ratu Dewata wafat tahun 1543 M setelah memerintah selama 8 tahun (1535 M-1543 M) dan dipusarakan di Sawah Tampian Dalem.
Ia digantikan oleh putranya, Pangeran Sakti. Berbeda dengan ayahnya, raja ini memerintah tanpa mempedulikan norma-norma pemerintahan. Membunuh orang tak berdosa, merampas harta rakyat, tidak berbakti kepada orang tua dan menghina para pendeta. Raja ini diturunkan dari tahta setelah memerintah selama 8 tahun (1543 M-1551 M). Dan setelah wafat, ia dipusarakan di Pengpelengan.
Anaknya, Nilakendra menggantikan sang ayah. Dalam pemerintahannya, Pajajaran sudah demikian rusak. Setiap saat berpesta-pora dan mabuk-mabukan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa-kilang (air memabukkan menjadi penyedap makan dan minum). Tatan agama gyang kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar (Tidak ada ilmu yang disukai kecuali makan lezat sesuai dengan kekayaannya).
Ajaran tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang (makan sekadar pelepas lapar, minum tuak sekadar pelepas dahaga) telah ditinggalkan. Semua itu terjadi dalam keadaan kerajaan terancam musuh dan rakyat kelaparan. Tiba saatnya kaliyuga, yaitu zaman yang penuh kejahatan dan kemaksiatan yang kemudian akan diikuti oleh pralaya (kehancuran). Dalam keadaan demikian Nilakendra bersama pengikutnya meninggalkan kerajaan. Tidak diketahui di mana raja ini wafat dan dipusarakan setelah memerintah selama 16 tahun (1551 M-1567 M).
Ragamulya Suryakancana, raja terakhir, mengungsi bersama pengikutnya ke Kadu Hejo di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Ia bertahan di salah satu kerajaan daerah dan gugur di sana sebelum pasukan gabungan Banten-Cirebon menghancurkan Pajajaran. Konon benteng Pakuan dapat ditembus karena adanya pengkhianatan "orang dalam".
Setelah itu, Pakuan tidak ada beritanya lagi. Reruntuhannya ditemukan sebagai puing dalam keadaan kosong tanpa penghuni oleh pasukan ekspedisi Kumpeni Belanda pimpinan Sersan Scipio pada 1 September 1687 M.
Dari episode di atas, dapat kita simpulkan bahwa betapa pun Prabu Siliwangi membawa Pajajaran ke jenjang zaman keemasan, membangun benteng pertahanan yang sangat kuat, namun akibat mental dan prilaku penerusnya, Pajajaran harus mengalami kehancuran. Beberapa episode lainnya tak kalah tragis bahkan juga memalukan, namun episode di atas rasanya cukup mewakili sebagai pembanding keberadaan kita di era Sunda kiwari.
"Sunda kiwari"
Saat ini kita dapat melihat dan merasakan fenomena kaliyuga yang menimpa Ki Sunda walau dalam bobot dan versi yang berbeda.Kemaksiatan, kerakusan, pengkhianatan, anarkis telah membayang-bayangi. Banyak motif yang menjurus kepada kehancuran, antara lain pola hidup konsumtif yang berlebihan yang kemudian berdampak di antaranya kepada perilaku korupsi, pelecehan seksual, dan narkoba. Tentu kita berharap tidak terjadi pralaya, keterpurukan, atau kehancuran seperti yang pernah dialami leluhur kita dan ini perlu kita
tafakuri, patut dijadikan cermin agar flek-flek yang tampak pada wajah kita dapat segera diobati, diprotek sebelum menjadi parah.
Keberadaan Ki Sunda kiwari dan masa datang sangat bergantung kepada Ki Sunda sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak mengubah nasibnya. Sudah saatnya kini Ki Sunda paheuyeuk-heuyeuk leungeun membangun kembali Benteng Pajajaran yang tangguh.
Ki Sunda, baik pituin maupun mukimin harus sejalan menjunjung tinggi budaya tatar Sunda. Kita gali dan pelihara bersama budaya warisan para leluhur yang ada, namun wayahna harus rela meninggalkan kultur yang selalu membuat kita statis, menghambat kemajuan, dan mulai menerima segala perubahan dengan lapang dada sehingga kita tidak selalu ketinggalan langkah.
Kita belum terpuruk dan kita belum kehilangan jati diri, namun harus kita sadari bahwa Ki Sunda kini sedang dalam proses metamorposis untuk menjadi Ki Sunda baru yang tidak lagi ku'uleun atau yang betah berkutat dalam alam feodal warisan masa lalu. Ki Sunda harus menjadi komunitas yang tangguh dan mampu beradaptasi dengan segala kondisi setiap saat. Budaya Mataram yang dominan memengaruhi identitas Ki Sunda selama berabad-abad, khususnya yang ribet (tidak praktis) kini tengah berada pada titik puncak perubahan dan mulai ditinggalkan. Jadi tidak perlu heran jika perubahan terjadi dan ini akan terus dan terus berlanjut di masa yang akan datang. Pada era teknologi dan informasi saat ini waktu sangat berharga, sehari saja kita tertinggal, kita sudah menjadi manusia masa lalu.
Kita tidak perlu pesimistis. Hanya dengan rasa memiliki (sense of belonging) dan semangat yang tinggi, Ki Sunda akan tetap eksis. Ki Sunda akan tetap Ki Sunda di mana pun berada walau dikelilingi budaya mana pun.
Memang tidak banyak Ki Sunda yang peduli terhadap keberadaannya karena kebanyakan sibuk dengan kepentingannya dalam usaha mempertahankan hidup, namun dari yang sedikit ini kita sangat berharap banyak. Saat ini kita berpacu dengan waktu, juga dengan komunitas lain. Kita harus berusaha tegas dan berjuang keras agar tidak selalu ketinggalan langkah sehingga istilah jati kasilih ku junti bagi keberadaan Ki Sunda tidak pernah kita dengar lagi. Ki Sunda harus kembali mengesankan bagi orang lain maupun orang asing seperti halnya kesan Tom Pires di abad 16M.
Hanya dengan ketulusan dan kebersihan hati serta tekad yang kuat kita akan menggapai suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera), seperti yang pernah dialami pada zaman keemasan Pajajaran di masa silam. Insya Allah.***
Penulis adalah Seniman dan Pemerhati Budaya.