Sunday, February 19, 2006

Situs dan Benda Cagar Budaya Menurut Masyarakat Sunda

SEKIRA 12 tahun yang lalu, atas permintaan kelompok tertentu, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penggalian di Pasir Badigul yang terletak sekira 7 km sebelah tenggara Kota Bogor. Permintaan itu mereka ajukan karena tempat itu mereka nilai sangat strategis dan mempunyai ”nilai jual” jika dijadikan wilayah hunian. Rupanya, mereka mengetahui bahwa di negara ini ada undang-undang atau peraturan lain yang berkenaan dengan kepurbakalaan. Pusat Penelitian Arkeologi memenuhi permintaan itu, lalu menggali di bukit itu walaupun bukan penggalian total. Artinya, dari seluruh bukit itu dipilih beberapa titik untuk digali. Jika di dalamnya terdapat tinggalan yang bermakna dari segi sejarah, kesenian, kepurbakalaan atau segi keilmuan yang lain, berarti tempat itu harus dilindungi dan karenanya izin tidak akan diberikan.

Agar upaya perlindungan (dan pembinaan) benda yang bernilai tinggi untuk ilmu, pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan itu tidak dilakukan dengan penuh keraguan, diterbitkan sebuah undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 itu. Dalam kedua produk hukum itu, dirumuskan apa yang disebut situs dan benda cagar budaya dengan segala seluk-beluknya. Dari uraian bab, pasal, dan ayat kedua produk hukum itu, terkesan bahwa titik berat perhatian adalah benda cagar budaya, sementara situs hanya bersifat ”pelengkap”.

Tentang situs, misalnya, UU No. 5/1992 itu menyatakan, ”Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.” (Bab I, Pasal 1 ayat (2). Setelah rumusan itu, situs dicantumkan lagi pada sejumlah ayat, pasal, bagian, atau bab. ”Perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional” (Bab II, Pasal 2); ”Lingkup pengaturan undang-undang ini meliputi benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, dan situs” (Bab II, Pasal 3); ”Pemerintah menetapkan lokasi penemuan benda cagar budaya atau benda yang diduga benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sebagai situs dengan menetapkan batas-batasnya” (Bab III, Bagian kedua, Pasal 11); ”Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya” (Bab IV, Pasal 15 ayat (1)); ”Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang bersangkutan” (Pasal 17); ”Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab Pemerintah” (Bab V, Pasal 18 ayat (1)); ”Masyarakat, kelompok, atau perseorangan berperan serta dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs” (ayat 2); ”Ketentuan mengenai tata cara pengelolaan benda cagar budaya dan situs ditetapkan dengan peraturan pemerintah” (ayat 3); ”Pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap benda cagar budaya beserta situs yang ditetapkan” (Bab VII, Pasal 24 ayat (1)); ”Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambl, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Bab VIII, Pasal 26). Dalam pada itu, dalam penjelasan atau UU itu, situs hanya kembali dirumuskan yang sama dan sebagun dengan rumusan Bab I, Pasal 1 ayat (2). Dalam pasal lainnya, situs sama sekali tidak disinggung karena dianggap ”cukup jelas”.

Sebaliknya, hal yang berkenaan dengan benda cagar budaya dapat dikatakan ”melimpah ruah”. Hal itu mungkin sesuatu yang wajar, mengingat undang-undang itu justru mengenai benda cagar budaya dan bukan tentang situs. Bukankah dalam pertimbangan dasarnya pun dinyatakan, ”Menimbang bahwa; a. benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional, b. untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya, c. pengaturan benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsbald Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsbald Tahun 1934 Nomor 515) dewasa ini sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya dan oleh karena itu dipandang perlu menetapkan pengaturan benda cagar budaya dengan undang-undang.”

Rumusan tentang benda cagar budaya adalah; ”a. benda buatan manusia, begerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan” (Bab I, Pasal 1 ayat (1a, 1b). Setelah itu, benda cagar budaya dicantumkan dalam setiap pasal (Pasal 2 s.d Pasal 30); hanya pasal 31 dan 32 yang ”terbebas” dari benda cagar budaya karena kedua pasal itu berkenaan dengan pembatalan semua peraturan sebelumnya (Pasal 31) dan awal berlakunya undang-undang itu (Pasal 32).

Dari kutipan atas pasal dan ayat itu jelas bahwa undang-undang itu masih terlalu memusatkan perhatian terhadap benda materi, baik yang berupa benda cagar budaya maupun situs. Inilah yang dalam beberapa hal terasa tidak atau kurang memenuhi kebutuhan rohani atau kejiwaan masyarakat.

”Kabuyutan” dan ”karamat”

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda, kata atau istilah kabuyutan dan karamat merupakan dua kata yang sudah sangat akrab, baik di telinga maupun di hati. Kedua kata yang berasal dari dua bahasa yang berbeda itu kabuyutan kata Sunda pituin (asli) sedangkan karamat bermula dari kata Arab (karamah). Kedua kata atau istilah itu memiliki kedudukan yang khas bagi masyarakat Sunda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa baik kabuyutan maupun karamat mengacu kepada suatu tempat yang oleh masyarakat setempat dianggap mempunyai kesaktian, bertuah, angker, atau suci.

Menurut catatan sejarah, artinya sejauh hal itu terdapat dalam berbagai sumber sejarah, tempat yang dianggap suci itu mungkin ada yang dengan sengaja dibuat atau didirikan, namun tidak jarang yang sebenarnya manusia hanya memanfaatkan apa yang sudah disediakan alam di situ. Prasasti Kebantenan yang dibuat oleh Sri Baduga Maharaja misalnya, antara lain menyebutkan bahwa raja itu menetapkan lemah dewasasana kabuyutan Sunda Sembawa, Jayagiri, dan Gunung Samaya sebagai sanggar (pemujaan) raja. Jika sekarang kita masih mengenal Jayagiri di daerah Lembang, apakah tidak mungkin Jayagiri itu yang dimaksudkan sebagai kabuyutan pada masa Sri Baduga Maharaja?

Namun, barangkali yang lebih menarik adalah kabuyutan Sunda Sembawa yang sekarang kurang dikenal orang di mana letaknya. Naskah-naskah Wangsakerta (1677-98) barangkali dapat digunakan sebagai sumber awal untuk melacak nama itu. Naskah itu menggambarkan bahwa Maharaja Tarusbawa dari Sunda mempunyai anak laki-laki bernama Sunda Sembawa yang sayangnya mati muda sehingga tidak sempat menggantikan ayahnya menjadi raja. Anak perempuannya (cucu Tarusbawa) dikawinkan dengan Rahyang Sanjaya dari Galuh. Jika benar pada akhir abad ketujuh itu ada tokoh bernama Sunda Sembawa, apakah tidak mungkin kabuyutan dengan nama yang sama itu dimaksudkan sebagai salah satu cara memuliakan leluhur, setelah berlalu 8 abad?

Sementara itu, baik naskah Carita Parahyangan (1580) maupun naskah-naskah Wangsakerta banyak mengambarkan nama anumerta raja yang pernah berkuasa. Raja Linggabhuwana (1350-7) setelah meninggal dikenal sebagai salumahing bubat yang meninggal di Bubat”, Suradipati (1357-71) dikenal sebagai salumahing ing winduraja ”yang meninggal di Winduraja”, Niskala Wastukencana (1371-1475) dikenal sebagai salumahing nusalarang ”yang meninggal di Nusalarang”, Rahyang Dewa Niskara (1475-82) dikenal sebagai salumahing gunatiga ”yang meninggal di Gunatiga”, sedangkan Sri Baduga Maharaja atau Jaya dewata (1482-1521) dikenal sebagai salumahing rancamaya ”yang meninggal di Rancamaya”.

Bagi masyarakat sekitarnya, tempat-tempat itu adalah tempat suci dan keramat sehingga hampir tidak ada yang berani bertindak gegabah di situ. Apalagi Rancamaya yang erat sekali kaitannya dengan isi Prasasti Batutulis. Kecuali parit di ibu kota Pakwan Pajajaran dan kabuyutan di tempat lain, karya melingga (=monumental) Sri Baduga Maharaja memusat di Rancamaya: gugunungan, ngabalay, nyiyan, samida, nyiyan talaga rena mahawijaya. Dengan demikian, bukan tanpa alasan jika masyarakat sangat gusar ketika sekira 12 tahun yang lalu itu Rancamaya ”diubah pemanfaatannya” dari kabuyutan atau tempat suci menjadi real estate dan padang golf. Luka lama itu kambuh ketika prasasti Batutulis ”diseruduk” oleh orang yang mengaku memperoleh amanah untuk membayar utang negara melalui hasil serudukannya di bawah prasasti itu.

Bagi masyarakat Sunda, jika sebuah tempat sudah dianggap sebagai kabuyutan atau karamat, masalah apakah di situ ada benda (cagar budaya) atau tidak, bukan sesuatu yang utama. Sebelum Gunung Padang ”dibongkar” tahun 1979 yang lalu sehingga muncul sebuah bukit atau punden berundak penuh batu alam yang besar-besar, masyarakat di situ sudah sangat percaya bahwa Prabu Siliwangi sering bersemedi di situ. Di Jatiwangi bahkan ada tempat yang disebut Buyut Kosambi yang ”unik”; di Desa Cisambeng ada sebatang pohon kosambi tua, tumbuh di tepi Jalan Raya Daendles, tanpa embel-embel lainnya.

Pamunah

Berdasarkan kenyataan di lapangan, dapat dipastikan bahwa bagi masyarakat Sunda, tempat karamat atau kabuyutan itu adalah situs pemujaan. Sebagai situs, dengan sendirinya tempat demikian perlu dilindungi seperti halnya dengan benda cagar budaya dan situs yang dirumuskan pada Pasal 1 ayat (2) itu. Agar tercakup dalam upaya perlindungan, rumusan situs harus pertama kali diubah. Misalnya saja menjadi ”Situs adalah lokasi yang (a) mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya, (b) oleh masyarakat setempat dianggap sebagai tempat keramat atau suci; termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.” ***

*) Guru Besar dan Dosen Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Artikel ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat - Senin, 16 September 2002

0 Comments:

Post a Comment

<< Home